28.4 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan ( bagian ke-33 )

Baca Juga:

#Masa Kecil Sebagai Cermin (2)

“SMP bapak masih ikut simbah putri,” tanya Rohman memaksa. Ingin tahu.
“Gak le. Bapak pindah ikut kakek lain desa,” jawabku menahan perasaan.
“Ada pengalaman yang belum bisa hilang sampai sekarang,?”
“Apa, ya. pertama, meski jarak sekolah cukup jauh 6-7 Km. beberapa kali bapak jalan kaki. lewat sungai, sawah ladang tegalan tandus. Tapi rasanya waktu itu kok ya tidak capek. Padahal seringnya sendiri lho le. ”
“Kenapa gak ada temannya. Atau memang bapak gak punya teman?”

“Punyalah, cuma kebanyakan mereka naik sepeda ontel. Sangat jarang yang memakai motor le. Bisa dihitung dengan jari waktu itu,”
“Bapak belum punya sepeda, waktu itu?”
“Sudah. Ontel jadul. Tetapi memang pingin jalan kaki saja. Rasanya asyik gitu. Pulang dari sekolah, sholat, makan istirahat sebentar terus cari rumput. Itu sudah menjadi rutinitas harian,”
“Juara juga pak,?”
“Hehe, tidak. Teman bapak yang pinter-pinter banyak. Dari SD pilihan. Tapi meski tidak juara, tapi ya tidak ketinggalan banget. Sempat minder waktu itu ,”
“Kenapa pak,”
“Secara fisik paling kecil. Fasilitas minim. Beda dengan teman-teman lain.”
“Bukan alasan untuk bisa berprestasi kan pak?”
” Iya memang. Tetapi memang bapak kalah saing dengan teman-teman sekelas yang lain. Satu kelas waktu itu ada 44 anak. Jadi penuh sesak. Beda kalau sekarang kan dibatasi siswa SMP hanya 32-36 saja. Dengan jumlah siswa yang banyak praktis, saingan makin besar”
“Paling suka pelajaran apa?”
“Gonta-ganti. Maklum masih labil. Pernah Bahasa Inggris, terus Matematika. Namun semuanya nilainya biasa-biasa saja. Tidak terlalu menonjol. Dari sini bapak ambil pelajaran, kalau siswa bisa suka terhadap pelajaran tertentu karena pengaruh guru sangat besar. Kadang bukan karena dari dalam,”
“Kok bisa pak,”
“Bisa saja. Misal bapak itu tidak terlalu pinter matematika, tetapi karena gurunya matematika-nya pinter dalam mengajar dan mendorong siswa-nya, maka siswa yang tidaknya tidak suka atau males, menjadi termotivasi,”
“Oh gitu ya. Bapak sekarang jadi guru, mustinya begitu kepada murid-muridnya,”
Begitulah beberapa potongan perbincangan kami dengan Rohman. Sebenarnya masih banyak yang dia tanyakan. Karena sedikit-sedikit ditanyakan. Mobil terus melaju dengan kecepatan sedang. Jelang maghrib kami sampai rumah. Tidak aku suruh Rohman langsung mandi dan siap-siap ke masjid kampung.
“Adzan le,” pintaku.
“Masak aku terus. Gantian lah pak. Nanti jamaahnya bosen, dengar suara adzan aku,”
“Gak ada yang bosen. Suara kamu bagus kok. Bosen itu kalau dengar suara adzan bapak. Cempreng, serak-serak becek. Kalau yang adzan kamu, biasanya yang jamaah banyak lho,”
“Bercanda. Gak ngaruh ya pak,”
“Ada ya. Siapa yang adzan akan mempengaruhi seberapa banyak jamaahnya. Pernah kok ada penelitian kecil-kecilan. Dan aku pernah tanya ke beberapa jamaah, kalau yang adzan kamu, banyak yang suka. Indikasinya, kalau kamu beberapa hari/minggu tidak adzan pada tanya. Kalau bapak gak adzan, blas gak ada yang menanyakan,” terangku
“Memuji, biar aku mau ya.”
“Gak. Benar. Sudah sana, berangkat dulu, naik sepeda, nanti bapak susul,”
Tidak usah menunggu lama. Rohman dengan sepeda gunung dan baju gamisnya, peci di kepala, sajadah ditaruh distang sepeda. melesat. Sebentar kemudian sudah hilang ditikungan jalan. Tidak menunggu 5 menit, aku sudah mendegar suara adzan Rohman yang melengking. Diam-diam aku sendiri mengagumi suaranya. Yang aku sesalkan dan tanyakan dia niru siapa? Bapaknya saja saja suaranya parau. Batinku tersenyum. (bersambung)

 

- Advertisement -

Menara62 TV

- Advertisement -

Terbaru!