# Lagi, Rindu Berkurban di Pondok (2).
SATE. Yap! makanan khas dari daging yang ditusuk dengan sebilah bambu. Identik dengan pelaksanaan kurban di setiap tahunnya. Meski tidak setiap daging yang dimasak harus dibuat atau diolah menjadi sate. Namun hampir semua suka dengan jenis makanan ini. Termasuk aku. Sayangnya aku termasuk yang sangat terlambat untuk menikmati atau mengkonsumsi sate ini. Kok terlambat? Ya, apalagi sate dari daging kambing atau sapi. Maklum masa kecil susah. Kalaupun toh pernah, sate terbuat dari keong, ampal, uret, atau sate tapi bukan dari daging. Kok? Ya, bentuknya saja sate, namun bahannya dari ketela, yang dibentuk seperti daging kambing.
Makan sate kambing muda, bagi aku sesuatu yang istimewa. Karena sangat jarangnya. Baru merasakan bumbu sate kambing, usia SMA. Diajak bapak, pulang kantor. Katanya langganan teman-temannya. Sekarang hampir tiap tahun sate menjadi kebiasaan. Mau setiap minggu mungkin bisa makan sate kambing, namun karena sadar hidup bukan saja untuk makan, maka makan sate bukan menjadi prioritas utama.
###
Namun sore itu, seiring mentari jatuh di rembang barat pelan-pelan, aroma sate kambing muda tiba-tiba mengendus hidungku. Kuat. Begitu melihat share photo ustadz Muchtar yang memberitahukan kegiatan di pondok Rohman sedang prepare untuk ‘nyate’ nanti malam. Nampak para santri dibagi dalam kelompok-kelompok rata-rata 8-10 santri. Mereka diberikan bagian daging untuk dimasak sate sesuai kreasi mereka sendiri-sendiri. Kreasi disini dalam arti bentuk dan ukuran daging yang harus dipotongnya.
“Lihat apa pak? Khusuk sekali,” tanya istri mengagetkanku.
“Cari-cari Rohman bu, ini mereka sedang persiapan untuk nyate nanti malam,” jawabku, tanpa melihat ekspresinya.
“Jadi pingin nyate juga ya pak?”
“Iya sih, cuma dagingnya sapi. Mau?”
“Kurang seru-lah, kalau ada kambing,”
“Dapatnya dicampur kemarin,”
Daging kurban yang kami peroleh, sementara sedang dimasak menu tongseng. Selain itu tidak. (bersambung)