#Beratnya Ikhlas Itu
IKHLAS biasanya berdampingan dengan sabar. Sabar dan ikhlas adalah laksana 2 sisi mata uang. Khusus ikhlas saat kita beramal tanpa harapan, selain ridha-Nya memang terasa berat. Minimal yang aku rasakan. Kadang masih ada niat-niat lain yang menyertainya. Ilmunya sebenarnya kita tahu. Paham. Muhlisinalahuddina – ikhlaslah dalam beragama. Namun dalam dataran realitas memang tidak mudah ternyata. Nah yang aku khawatirkan justru, kalau ekses buruk yang menyertainya ini yang akan mendominasi motivasi semangat kita beribadah.
Kadang nulis di koran niat aku juga belum pyur semata-mata karena-Nya. Kadang masih ingin dipuji, masih ada keinginan dikenal orang dan keinginan yang lain. Meski sudah aku tekan, namun kadang hal-hal demikian masih menyembul ke permukaan. Kalau sudah sampai batas itu, aku biasa berhenti untuk memikirkannya. Namun tetap berkativitas.
“Aku tidak ingin, mas nulis, hanya karena ingin dikenal orang. dan masih banyak lagi. Nulis ya nulis saja. Untung ada media yang memuatnya. Kalau tidak? kecewa, putus asa?” ini sering istri sampaikan sebagai masukan yang menusuk ulu hati.
Kalau sudah begitu, aku tidak bisa menjawabnya. Dilematis. Kalau sudah tidak ada solusi diri, biasanya aku konsultasi ke Ustadz Agus Rohmanta, pimpinan pondok Al-Quran di atas bukit Pajangan ini, atau kadang saya tanya ustdaz yang lain, sebagai penguat saja.
Untuk tingkatan ikhlas, aku pernah ikut kajian, bertingkat-tingkat. Sesuai dengan tingkat pemahaman orang per orang. Berangkat dari itu, maka jika ada niat-niat yang belum ikhlas, aku abaikan. Amal jalan terus. Dimanapun. Bersama komunitas apapun, belajar ikhlas ini senantiasa menyertainya.
Ciri ikhlas kata usztadz ada 2 : Jika dipuji tidak tinggi hati, jika dicaci tidak sakit hati. Ditulisnya mudah, namun prakteknya memang tidak mudah. Amalan haji bisa dikata paling sulit terhadap godaan ikhlas ini. Sekali lagi masing-masing mempunyai standar masing-masing. (bersambung)