#Memelihara Semangat, dengan Tekad.
Siang itu. Mentari masih malu-malu menampakkan sinarnya. Murung. Redup. Bahkan diprediksi akan turun hujan. Namun seperti pepatah, mendung tak berarti hujan. Kadang ada benarnya. Hanya lewat saja, kabut tebal itu. Seperti halnya siang itu. Aku lirik jam lama, pemberian istri yang masih awet. Jarum pendek menunjuk angka 10. Jarum panjang pada posisi angka 6. Artinya jam 10.30. Sudah siang. Namun suasana nampak seperti masih pagi, jam 6-an.
Aku sendiri masih kerasan di kebun barat rumah dekat sungai. Belakangan aku memang suka bergelut dengan tanaman pisang. Di sela-sela kegiatan daring sekolah. Di samping untuk membunuh waktu sunyi – luang, ternyata pisang juga menghasilkan uang. Belakangan baru tahu, kandungan vitamin tinggi. Dulu waktu aku usia belasan tahun, pisang adalah makanan harian. Karena bapak mempunyai banyak tanaman pisang di lahan sawah. Aku biasa metik sendiri. Meski tidak menanamnya.
“Ada phone pak, Rohman,” kata istrinya setengah berteriak.
Aku melompat. Kegirangan. Seperti anak kecil mendapat mainan. Cuci tangan dan kaki sekenanya. Langsung aku ikut nimbrung dalam pembicaraan trio. Aku-Rohman dan ibunya. Sementara Fauzan, kakaknya Rohman, sibuk dengan dirinya sendiri. Meski kadang, nyambung dengan pembicaraan kami. Tetapi tidak begitu jelas. Kami maklum dengan kondisi Fauzan yang sejak usia 4 tahun sudah divonis Down Syndrom (DS) sehingga mengalami kemunduran intelegensia. Kami terima, apa adanya.
“Kok sepertinya sedih, ada apa le?” tanyaku tanpa basa-basi, setelah mendengar suara Rohman di seberang, tidak semangat. Bahkan aku dengar gelagatnya Rohman mau menangis.
“Makannya kurang atau bagaimana?” sambungku agak galak. Meski pertanyaan ini juga standar.
“Bapak ini lho, makanan saja yang ditanyakan,” coleh istriku, geram
“Siapa tahu, namanya anak, sedang nafsu makan, sementara persediaan kurang,”
“Gaklah, di pondok, pasti sudah dipikirkan,”
“Iya, le ada apa, coba bilang sama bapak ibu. Bapak gak marah kok,”
Kataku coba membangkitkan andrenalin-nya agar berani bicara.
“Aku…khawatir mengecewakan bapak-ibu,” kata Rohman, kemudian tangisnya pecah, meski tidak muntah 100 persen. Isaknya aku dengar dari ujung telphone.
“Gak, Rohman tidak pernah mengecewakan bapak ibu. Malah selama ini sudah banyak membanggakan keluarga. Ada apa coba cerita?”
“Aku..mengalami kesulitan dalam halaqah, belakangan ini pak. Khawatir tidak bisa mencapai target. Seperti yang pernah disampaikan bapak ibu. Masih dengan isak tangisnya. Kali ini makin jelas.
Istri coba menenangkan. “Gak le, bapak ibu gak kecewa, yang penting Rohman sudah berusaha maksimal. Hasilnya kita serahkan kepada Allah SWT. Bapak dan ibu selama ini merasa Rohman mampu untuk banyak menghafal. Rohman diberi anugrah itu. Yang penting sudah usaha dan fokus, le,”
“Iya,…” aku dengar suara Rohman makin jelas. Artinya imun dalam dirinya mulai naik.
Maka aku menambahi, ” Benar kata ibu le, usaha maksimal. Kalau sudah berusaha dan berdoa kok belum mencapai target, itu artinya Rohman masih diminta atau disuruh untuk terus belajar. Kemarin Ust. Agus Rohmanto dalam pengajiannya mengatakan Allah itu tergantung dari prasangka hamba-Nya. Kalau kita mampu, insya Allah akan dimampukan oleh-Nya. Itu saja le, bagaimana sudah mulai adem?” kataku seperti Rohman ada di hadapanku saja.
“Sudah pak,” jawabnya singkat, namun mantap.
“Bagaimana, mau dikirim geprek?” kesenangannya.
“Gak usah pak, roti saja, seperti kemarin, sama susu kalau ada,” pintanya.
Aku dengar dari nada bicarnya, Rohman sudah flat dan cenderung naik semangatnya. Tidak down lagi.
“Kok suka susu, sekarang le,”
“Iya, biar bisa nambah tinggi dikit,” kata Falah, kali ini sudah terdengar derai tawa-nya. meski belum lepas benar.
“Siap, minggu ini, bapak kirim susu. Biar nambah tinggi dan semangat,” kataku.
Tidak lama kemudian terdengar adzhar dhuhur. Phone dihentikan. Aku sendiri segera mandi. Dan gandeng Fauzan untuk jamaah di masjid kampung, jarak 150 meter dari rumah. Di sepanjang jalan menuju masjid, percakapan dengan Rohman, masih terngiang
jelas. “Takut mengecawakan bapak ibu,”. Apa aku terlalu keras memberikan beban kepada-nya. Diusia pra remaja. Harus berpisah dengan saudara dan orang tua. Usia sebaya banyak bermain. Semoga satu saat nanti, dia tahu mengapa aku dan istri kekeh menaruh dia di pondok sedari dini. ( bersambung )