# Percakapan Menggoda.
Sabtu atau Ahad memang hari yang kami tunggu. Bukan berarti hari Senin sampai Jumat kami membencinya. Bukan. Tetapi lebih karena 2 hari itu, kami agak leluasa menghubungi Rohman. Aku sebut leluasa karena ada jadwal phone di 2 hari itu. Kadang Sabtu-nya, kadang Ahad-nya, jika mujur kadang bisa dua-duanya.
Siang lepas dhuhur. Istri terus berkali-kali coba hubungi nomor Telkomsel pondok. Jawabnya sibuk. Kami berpikir, sedang dipakai yang lain. “Kan antri, pak?” kata istri mencoba menenangkanku. Karena kelihatan aku sudah tidak sabar, untuk bisa sambung dengan Rohman. Terlihat sering setengah merebut HP-nya untuk gantian aku yang menelpon-nya. Pikirku siapa tahu kalau aku yang menghubungi, langsung bisa diterima, jaringan longgar.
“Tut.tut.tut,” suara di seberang. “Sama saja kan, dibilangin sabar kok,” istri mulai bersungut-sungut. Aku menyadari ketidaksabaranku. Aku mundur. Untuk menghilangkan nerveus atau jeleus atau perasaan yang lain aku lari ke laptop. Buka taddarusnya Ust. Hanan Ataki, Juz Amma, atau mengulang kajian Ustadz Agus Rohmanto Lc.
Akhirnya, sambungan itu terbuka juga. Aku dengar istri mulai bisa connect dengan Rohman. Aku sengaja pura-pura tidak dengar. Aku tenggelam di depan laptop, di ruang tamu ukuran 2.5 X 3 meter. Tidak begitu jembar. Namun sesekali aku dengar percakapan ibu-anak ini.
“Assalamualaikum?” istri
“Waalaikumsalam.” Rohman
“Sedang apa tadi?”
“Antri buk,”
“Pagi apa kegiatannya?”
“Kerja bhakti, membangun mushola, dekat pondok,”
“Gak olahraga?”
” Iya sebentar.”
“Apa?”
“Volie, di halaman pondok atas,”
“Kamu bisa volie?”
“Bisa lah,”
“Sudah mandi?”
“Sudah lah.”
“Gatal-nya masih?”
“Sudah gak,”
Iya Beberapa hari lalu, Rohman mengeluhkan selangkangannya gatal. Agak perih. Aku sempat khawatir. Aku pernah tanya, agak masalah dengan jadwal mandinya. Gantian aku mendekat. Gantian. Tapi istri masih mendominasi. Belum mau memberikan kesempatan untukku. Aku mengalah.
“Ayolah, diatur mandinya. Ibu tahu kendala di pondok,”
“Iya. ”
“Mau subuh sama sebelum Ashar, bisa dipake mandi, le,”
“Iya,”
“Kemarin, kirim roti, suka?”
“Suka,”
“Jawabnya pendek-pendek e. Ada apa ?”
“Gak ada apa-apa,”
“Cerita yang lain-lah,”
“Cerita apa ya ? Gak ada cerita kok. Biasa saja,”
“Ngajinya bagaimana?” bapak sama ibu sudah mulai memikirkan kamu nanti melanjutkan sekolah di mana, dari sekarang?”
“Kan masih lama, bu. Pinginnya yang ada IT-nya,”
“Makanya kalau bisa target, SMP ini bisa hafidz, nanti SMA sambil cari yang IT. Kalau SMA belum hafidz, nanti kesulitan sekolahnya,”
“Berat e-bu. Kemarin halaqah masih salah-salah,”
“Yang penting usaha. Kamu bisa. Semangat.”
“Iya bu. Ustadz sini juga sering beri motivasi,”
“Kelas 2 aku insya Allah 15 juz bu, kelas 3 apa bisa 15 juz lagi bu?”
“Insya Allah bisa. Semua tergantung usahamu. Bapak dan ibu, juga mas selalu mendoakan,”
Pertanyaan itu yang sekarang sudah aku hindari. Meskipun, sekali lagi ingin. Karena aku tidak ingin bak : menepuk air didulang, terpercik muka sendiri. Maka aku inginnya ngalir. Tapi istri sebaiknya ada target. Setelah aku pikir-pikir, istri ada benarnya juga. Biar anak lebih giat dalam berusaha. Bagaimana dengan orang tuanya?
(bersambung)