27.8 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan ( bagian ke-64 )

Baca Juga:

# Akhirnya Ikut Vaksin Juga

Sebenarnya aku yang kekeh untuk tidak ikut vaksin. Lho mengapa ? Minimal untuk sementara waktu. Tapi sampai kapan? Aku sendiri tidak bisa menjawab. Tapi aku punya limit yakni, ketika Vaksin Nusantara produksi anak negeri yang sempat digelorakan di awal pandemi dipakai oleh pemerintah. Namun ditunggu kabar-nya makin kesini, Vaksin Nusantara kemudian hilang pamor. Indonesia akhirnya memakai vaksin buatan luar. Import.  Diantara vaksin yang dipakai pemerintah adalah: vaksin Sinovac dari Cina, vaksin AstraZeneca atau Oxford-AstraZeneca merupakan vaksin yang diproduksi biofarmasi asal Inggris bekerja sama dengan Universitas Oxford. Vaksin Pfizer-BioNTech merupakan kolaborasi antara perusahaan bioteknologi Jerman, BioNTech, dengan perusahaan farmasi asal Amerika, Pfizer. Vaksin Moderna diproduksi oleh perusahaan bioteknologi asal Amerika Serikat. Sebenarnya ada 8 yang resmi dipakai, tetapi yang lain tidak hafal.

Setiap teman bertanya, mengapa aku belum vaksin. Jawabku nunggu Vaknus. Vaksin Nusantara. Sok nasionalis? Mungkin iya. Tapi mungkin juga tidak. Karena siapakah aku? Gak ngaruh banget. Hanya memang jujur, ada rasa bangga jika menggunakan produk sendiri, terlebih ini digunakan beberapa kali untuk dimanfaatkan hampir semua anak bangsa. Bahkan belakangan kartu vaksin menjadi prasyarat mendaftarkan pekerjaan. Naik pesawat, kereta dan perjalan jauh lainnya.

Karena instansi tempat aku bekerja mengharuskan untuk vaksin, sebagai syarat tatap muka dengan audiense atau relasi, maka mau tidak mau, aku vaksin juga. Malah sudah dua kali.
Bagaimana dengan Rohman di pondok?

Ternyata Pondok memfasilitasi bagi santri yang akan vaksin. Bahwa vaksin adalah upaya ikhtiar untuk mencegak penyebaran virus Covid-19, aku setuju. Yang aku kurang sreg, hanya jenisnya saja. Bukan sok idealis. Karena tidak tahu bagaimana mekanisme barang impor masuk ke dalam negeri, akhirnya nurut saja.
“Sudah jadi vaksin, mas?” tanya teman. Ketika satu saat ketemu, fotokopi di kios .
“Sudah,” jawabku pendek.
“VakNus?” tanyanya lagi, meledek. Karena tahu Vak-Nus belum jadi di-launching.
“Gak lah. Ijin belum turun.” jawabku sok tahu.
“Terus pake apa?”
“Sinovac,” aku tercekat lidah, ketika menjawab ini.
“Apa aku bilang….” kata temanku itu.
“Maksudnya,”
“Ya, pasti impor lah, ya kan, mas”
“Ya, siapa tahu pakai produk sendiri. Aku menunggu, mas,” jawabku
“Jauh, mas..”
Perbincangan kami terhenti, ketika fotokopi temanku selesai. Teman guru. Tapi tidak setiap hari ketemu, karena beda hari piket. Ya, sejak pandemi covid-19 dan pemberlakuan PPKM-darurat level 3-4, kami dipiketkan. Tidak harus ke sekolah tiap hari. Namun ngajarnya tetap.

Termasuk istri dan Fauzan, juga belum lama vaksin. Kalau yang ini bukan karena memilih Vak-Nus. Tetapi karena (maaf), takut kena suntik. Akhirnya setelah aku dorong-dorong, istri mau juga. Sementara Fauzan, dominasinya tergantung aku. Karena Fauzan tidak atau belum bisa memilih. Antara ikut vaksin atau tidak, sangat tergantung dari ortunya. Namun siang itu, meski tetap ada aura takut di wajahnya, aku harus sedikit paksa: tarik dan pegang. Fauzan berhasil vaksin untuk pertama kali. Gak ada tangis. Jadi takutnya lebih kepada melihat atmosfir vaksin di GOR balai desa. Agak ramai, banyak orang, sedikit berkerumun. Sementara hariannya, Fauzan lebih banyak menganut paham soloisme. Sendiri. (bersambung)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!