# Cerita Fauzan, Kakaknya Rohman.
LAHIR dalam kondisi normal. Panjang 49 cm, berat 3,1 kg. Namun dalam perkembangannya menjadi ‘istimewa’. Bisa terjadi. Itulah yang aku alami dengan Fauzan ini. Lahir pagi bada Subuh, dengan berat 3,2 Kg. Menangis keras. Di rumah bidan berpengalaman. Aku kira cukup untuk membuat indikator bahwa perkembangan anak ini biasa. Normal. Tanda keanehan tentang progres Fauzan mulai terlihat pada umur 4 bulan. Ketika di timbang di Posyandu, berat badannya tidak mengalami kenaikan yang signifikan alias stagnan. Hingga kemudian kami periksakan ke dokter anak. Diagnosa dokter: DS (Down Syndrom). Nama yang baru aku kenal. Jenis makhluk apa ini. Aku baranikan tanya ke dokter yang menangani. Aku mendapatkan jawaban: DS adalah penyakit yang disebabkan karena kelebihan kromosom dalam tubuh anak. Itu bisa terjadi pada 1-2 dari 1000 anak. Bukan karena keturunan. Ciri yang nampak kasat mata: kepala kecil, cenderung mongoloid (seperti orang-orang Mongol). Yang tidak nampak dan pengaruh kedepan adalah IQ rendah. “Yang bisa dipacu adalah kemandirian, Mas,” kata dokter waktu itu.
Sepanjang perjalanan pulang, istri menangis tiada henti. Bahkan jika ada waktu-waktu luang, ia banyak merenungi nasib. Nasib Fauzan. Aku mencoba terus memberikan harapan. Tidak saja harapan kosong. Karena kalau harus memilih, tentu tidak ada semua keluarga yang mau atau siap menerima kondisi semacam ini. Awalnya aku sendiri juga bertanya-tanya, mengapa terjadi pada Fauzan.
Dua puluh satu tahun sudah berjalan. Aku ingat benar, lahirnya 16 Juli 2000. Mestinya Fauzan sudah tumbuh menjadi remaja jelang dewasa. Kalau kuliah ya sudah semester empat atau enam. Atau jika ikut program akselerasi, Fauzan sudah KKN daring. Namun karena karunia dari Allah Swt ini, maka kemampuan kognitifnya masih sama seperti anak TK. Tetap aku syukuri. Masih banyak hal yang dilayani. Meski dokter mengatakan kemampuannya Fauzan bisa digenjot, namun nyatanya hingga usia menginjak dua puluh, masih juga stagnan. Sebagai ilustrasi untuk makan saja Fauzan butuh waktu normal 1,5 jam jika dilepas sendiri. Mandi juga belum bisa bersih, jika sendiri. Apalagi kalau kebutuhan kebelakang. Semuanya masih kami layani. Meski kami coba untuk terus bisa mandiri, namun kenyataannya, belum bisa. Secara manusiawi kadang hati ini sesak. Perut mual. Melihat situasi demikian.
Jika diajak menengok adiknya, Fauzan sering tanpa ekspresi. Datar. Bahkan kalau ketemu Rohman, ekpresi Fauzan tidak menunjukkan rasa rindu dihatinya. Tatapannya sering ke arah lain. Tidak ke adiknya. Memeluknya? Namun kalau sudah pulang dan ditanya, dari mana tadi, maka Fauzan bisa menjawab dengan pelan: dari dik Rohman ke Pajangan. Itu saja.
Hingga sekarang Fauzan, salah satu yang menjadi rem perekat pernikahan kami. Ketika kami bertengkar, maka tiba-tiba Fauzan datang. Memang tidak secara verbal melerai, karena tidak bisa. Namun sikapnya yang woles. Damai, senyum. Membuat emosi kami turun beriringan. Hingga tidak jarang kami memeluk bersama-sama tubuh Fauzan yang lebih kecil dari usianya sesungguhnya.
Soal tubuhnya yang kecil. Sekali lagi masih aku syukuri. Karena, masih kata dokter, mestinya dengan kondisi Fauzan yang DS ditambah jantung bocor, tubuhnya kurus, kalau menangis ujung jarinya membiru.Namun ternyata hingga sekarang, meski perkembangannya terhambat, namun tubuhnya tidak kurus amat. Dan ketika menangis, tidak ada tanda kebiruan dalam ujung jarinya. “Ini keajaiban, mas. Jantung bocornya mengecil dengan sendirinya,” kata dokter ketika kami periksakan. Masih kata dokter lagi, tidak banyak anak yang mengalami hal yang sama.
‘Perkembangan’ baru yang kami terima. Belakangan Fauzan suka bicara tanpa frase yang jelas. Sehingga kata satu dengan sambungannya tidak ada korelasinya. Bagi orang yang tidak terbiasanya bertemu dengannya, maka tentu akan tidak bisa mengertinya. Namun kami yang sudah biasa keseharian, bisa menangkap apa yang dimaksud oleh Fauzan ini. Kami akan terus susuri lorong waktu bersama Fauzan dengan beberapa kelebihannya. Dengan berusaha mengais hikmah di dalamnya. Entah sampai kapanpun.
Itulah mengapa ketika menerima sambungan phone Rohman beberapa hari lalu bada Ashar, aku selipkan pesan berat. Menurutku. Yang mestinya belum saatnya aku sampaikan. “Kamu besok punya tanggungjawab dobel. Diri kamu dan mas Fauzan,” Tidak aku duga, suara dari sebrang terdengar, mantap menjawab : Iya. Hatiku melayang-layang. (bersambung)