32.9 C
Jakarta

Rembulan di Atas Bukit Pajangan (bagian ke-9)

Baca Juga:

Masih Soal Fauzan dan Rahasia Illahi

Aku sendiri mengaku tidak sabar banget menghadapi keterbelakangannya. Meskipun orang-orang sekitar mengatakan aku paling sabar menghadapinya. Sejatiya tidak juga. Buktinya aku pernah geregetan karena kelambatannya aku sering terlambat sholat jamaah. Akhirnya, aku siasati dengan prepare lebih awal. Sebelum waktu sholat tiba, maka Fauzan sudah aku siapkan. Dari ganti baju, wudhu hingga memakai sandal, semua aku dampingi. Memang semua itu membuat lambat mandiri. Sebab kalau aku lepas dan biarkan di kamar mandi sendiri, untuk mengambil air wudhu bisa setengah jam. Fauzan hanya diam.

Tetapi setelah tensi tinggi, biasanya penyesalan datang kemudian. Aku minta maaf kepada-nya. “Maaf ya le, bapak tidak sabar hari ini,” kataku sambil aku peluk. Dia hanya membalas dengan anggukan. Bukan perkataan. Itu saja sudah membuat hati ini lega.

Dua kejadian yang tidak pernah aku lupakan. Dalam sejarah hidupnya, paling tidak hingga kini. Pertama. Waktu, masih sekolah di LB dulu, jenjang SDLB, usia sekitar 10 tahunan. Saat sedang mengikuti rapat kantor, aku di telepon guru kelasnya kalau, maaf Fauzan BAB di kelas. Tidak mau ke kamar mandi. Mungkin takut atau tidak tahu. Yang jelas, kejadiannya begitu cepat. Kotoran sudah sampai penuh di celana pendeknya. Aku tidak tahu mengapa gurunya menghubungi aku. Maka, dengan ringan hati aku tinggalkan rapat kantor itu, menuju ke sekolah Fauzan. 75 Km motor aku pacu. Kencang, untuk ukuranku.

Sesampai di sekolahnya. Aku lihat wajah Fauzan sedih. Meski tidak menangis. Kemudian secepat kilat, memanggilku, “Bapaak,” aku tahu maksudnya. Tanpa pikir panjang dan tak sedikitpun aku pasang wajah marah, aku tuntun dia ke kamar mandi. Aku lepaskan celana-nya. Termasuk celana dalamnya, yang sudah penuh dengan kotoran. Setelah aku cebok dan bilas pantatnya, aku tanya pelan-pelan, “Perutnya sakit ya,” dia hanya menjawab, “He-eh,” Itu saja yang keluar dari mulutnya.

Tidak lama berselang aku minta ijin pulang. Fauzan praktis pulang lebih awal. Aku maklum  mengapa bukan gurunya, yang membersihkannya. “Toh masih ada kami, orang tuanya, yang lebih bertanggung jawab, lahir batin,” batinku sambil pulang. Aku tidak merasa jijik sedikitpun membersihkan kotoran Fauzan. Setelah sampai di rumah, dia aku titipkan neneknya.

Peristiwa ke-dua. Saat di hilang di Rumah Sakit. Kami panik. Ceritanya, deritanya bertambah lagi saat dokter mengatakan gendang telinga-nya tidak berfungsi maksimal. Ini teruji ketika didengarkan lonceng di dekat telinganya. Dia tidak respon sedikitpun. Bahkan ketika lonceng itu ditabuh lebih keras, dia diam saja. Tanpa ekspresi. Ketika kami perikasakan di RS terbesar di kota kami, yang relatif lengkap alatnya, kami tidak ingin Fauzan tidak bisa mendengar. Sebab penderitaanya sudah cukup banyak, pikirku. Maka saat kami antri obat dia terlepas dari pengamatan kami berdua. Saat itu ada di lantai 4 RS tersebut. Obat belum kami ambil, kami setengah lari kesana kemari mencari di mana rimbanya. Karena naik turun pake lift, siapa tahu dia ikut orang, kemudian masuk dalam lift. Pikiran buruknya menyergap. Jangan-jangan dia diculik.

Benar. Kami berbagi tugas. Istri yang mencari lewat jalur tangga manual. Aku yang lari dari lift satu ke lift berikutnya. Hampir semua orang yang aku temui dalam lift aku tanya, ” Maaf ibu tahu anak kecil usia 10 tahunan, tingginya segini,” tanyaku sambil menunjuk seukuran tinggi badan Fauzan, satu  meteran. 7 orang yang aku tanya menggeleng. Tanda tidak tahu. Baru orang yang ke-8, seorang bapak paruh baya, menjumpai anak dengan ciri-ciri yang aku sebutkan tadi ada di lantai 1 sendirian. Ya Allah pekikku dalam hati. Ketika aku mendongak ke bawah dari lantai 4, aku lihat Fauzan berkelebat setengah berlari masuk di ruang sebelah. Benar, sudah dilantai 1.

Aku berlari mengejarnya lewat tangga manual. Sebab kalau lewat lift harus menunggu. Dengan nafas tersengal, akhirnya aku temukan Fauzan berdiri di pojok ruang tunggu. Gedung sebelah. Aku dekap dia. Lama. Tak kulepaskan. Aku baru merasakan, begini rasanya orang kehilangan.Meski kami tidak atau belum tahu hikmah apa, dia dititpkan kepada Kami. Saya kemudian ingat firman-Nya, bahwa Allah tidak pernah menciptakan mahkluk apapun sia-sia. Pasti ada tujuan dan hikmahnya. (bersambung……)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!