Oleh: Ace Somantri
BANDUNG, MENARA62.COM – Menghiasi layar media sosial jeritan warga Rempang Galang, berbagai berita dan cerita dalam vidio dan narasi para penggiat literasi memberi informasi. Suara tangis anak-anak sekolah dan warga berlarian menghindari asap gas yang menyesakkan pernapasan. Bahkan saat bersamaan saat aksi demonstrasi warga Rempang Galang yang berujung ricuh, ada di antara warga yang dianggap provokator pun ditangkap pihak aparat kepolisian, salah satu tokoh kunci pergerakannya alumni ilmu hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Usut demi usut kasus tersebut berkaitan dengan penggusuran lahan untuk investasi. Di tempat tersebut akan dibangun industri panel surya terbesar. Namun, disayangkan ada klaim pihak perusahaan proses akuisi lahan tersebut sudah sesuai prosedur. Memang kasus serupa sering terjadi di negeri ini, alih-alih untuk investasi untuk negeri padahal ujung-ujungnya mengikis habis anak negeri menjadi pembantu di rumah sendiri.
Rempang Galang meregang tak terelakan, korban berjatuhan akibat perbuatan represif aparat terhadap warga masyarakat rempang. Tak sedikit anak-anak menjadi korbannya, sehingga terlihat berlarian anak-anak sekolah terkena gas asap dan jeritan ibu-ibu penuh histeris akibat tercabik-cabik rasa keadilannya oleh kebijakan yang menyakiti. Luka menganga dalam ranah politik ekonomi negeri yang tergadaikan pada oligarki dan hati pilu menyelimuti tubuh yang dipaksa untuk tidur selamanya. Hak ulayat tanah leluhur hampir dipastikan banyak yang hilang dan sudah hancur lebur oleh serakahnya para penguasa dan pengusaha. Atas nama bangsa Melayu yang berhak meneruskan jejak langkah para leluhur untuk menjaga dan memelihara alam semesta penuh damai, tentram dan sejahtera kini berubah menjadi api membara permusuhan di antara anak bangsa. Entah siapa yang memulai menghianati hingga peristiwa ini terjadi, warga dan rakyat tiba-tiba harus menjadi korban tanpa daya, akibat keserakahan dan kesombongan para penghianat bangsa berbaju jabatan atau karena lemahnya para pemimpin bangsa.
Meregangnya harapan untuk menjaga dan memelihara tanah leluhur terkoyak oleh segelintir manusia serakah dan pongah. Yang berhadapan saling serang fisik antara aparat satuan pamong praja, kepolisian dan tentara dengan warga Rempang menjadi tontonan yang menyakitkan. Mereka padahal semua bersaudara satu tanah air, tanah Indonesia dan satu bangsa, bangsa Indonesia. Kenapa harus adu fisik hingga banyak korban berjatuhan semua yang berhadapan, sementara para penghianat bangsa menonton sambil tertawa melihat peristiwa di depan mata sambil berharap agar sukses proyeknya. Saling tuduh para pihak yang terlibat pada peristiwa di Rempang Galang, klaim merasa sudah benar dan sesuai prosedur pun dilontarkan dalam narasi yang disampaikan oleh pihak-pihak tertentu. Namun faktanya banyak kejanggalan yang sulit diterima akal sehat, keluguan dan kepolosan warga sering dipermainkan oleh penghianat bangsa, dengan alasan demi meningkatkan kesejahteraan warga dan negara. Akan tetapi realitanya hanya manis di bibir pahit di lidah, dan lebih parah saat masuk kerongkongan mengakibatkan tersedak yang berujung kematian yang tragis, begitu kira-kira peristiwa-peristiwa serupa yang sering terjadi di negeri ini jikalau diibaratkan.
Hal yang tidak aneh peristiwa tersebut karena sering terjadi di berbagai tempat seperti terjadi di Wadas Jawa Tengah. Jeritan tangis hanya dianggap simbol sebuah proses perjuangan investasi, malahan ada mitos yang mengerikan saat sebuah proyek besar akan didirikan harus ada yang ditumbalkan dari jiwa manusia, orang Sunda lebih mengenal istilah “wadal” untuk peningkatan jumlah kekayaan harta benda. Rempang Galang saat ini dalam situasi mencekam, ratusan personil keamanan dikerahkan dari luar Rempang dengan alasan untuk antisipasi kerusuhan lebih besar. Hal itu tidak akan terjadi ketika semua pihak berbuat adil dan berkeadilan, baik untuk atas nama negara ataupun sebuah entitas bisnis bahkan atas nama pribadi. Indikasi ketidakadilan dan pelanggaran norma-norma dengan aromanya tercium bau menyengat dan langkah – langkah tindakannya sangat terlihat dan terasa. Bukan dugaan dan prasngka, ini fakta dan realita bahwa warga Rempang sangat pilu dan merana karena harta bendanya leluhurnya diperjual-belikan untuk kepentingan politik ekonomi sekelompok manusia yang nirpeduli pada negeri ibu pertiwi.
Rempang Galang dalam kondisi malang, entah apa yang terjadi kemudian hari tanahnya sudah berdiri penuh duri beton dan baja. Padahal mereka diwarisi untuk menjaga amanah warisan leluhurnya agar tetap terus menerus keseimbangan alam tetap terjaga. Namun, sejak saat gedung industri merobek perut bumi untuk sekedar investasi yang tidak abadi. Justru yang ada hanya akan menyakiti mahluk bumi akibat dari limbah-limbah industri dan berujung pada saling bully dan intimidasi sesama anak negeri. Rempang Galang kini malang gak kepalang, sakitnya tidak kepalang bagi warga Rempang karena yang memberi makan pun ditangkap padahal mereka hanya karena hati tergerak simpati dan empati bentuk peduli Rempang, sayang sekali malah akhirnya di gelandang karena dianggap masuk ranah yang dilarang. Tidak masuk akal sehat kala yang membantu kena batu, padahal hati ini berusaha memberi spirit dan motivasi untuk sebuah “ta’awanu ala al birri…” dan berusaha menjauh ” walaa ta’awanu ala al ismi…” , sehingga hal itu agar tetap menjaga komitmen dan konsistensi diri untuk mampu dan memiliki kekuatan melawan pihak-pihak yang berbuat tirani.
Berbagai pihak banyak berkomentar, Rempang Galang bukan sekedar investasi semata melainkan “ada udang dibalik batu”. Geo-strategi global semakin terlihat nyata dalam pandangan kasat mata, hampir semua infrastruktur periode Presiden Jokowi seolah ada dominasi dan kooptasi kepentingan politik luar negara lain yang terlalu berpihak lebih dominan pada satu negara tertentu, padahal bangsa dan negara Indonesia merdeka. Sangat dapat dibuktikan jikalau tanah pulau Rempang benar-benar lepas dari pewaris yang berhak, maka itu sebagai bukti aneksasi ekonomi yang sangat mencolok mata, apapun apapun alasannya pulau Rempang adalah perbatasan dengan negara luar. Sehingga rentan terhadap resiko besar yang merugikan rakyat Rempang Galang dan juga bangsa Indonesia pada umumnya, terlebih saat ini lokasi-lokasi strategis di luar pulau Jawa banyak titik yang telah diambil oleh entitas bisnis milik negara Tiongkok dengan dalih investasi, padahal senyatanya mereka menganeksasi secara bertahap negara kesatuan Indonesia.
Rempang Galang menunggu uluran tangan orang-orang yang memiliki tanggungjawab sebagai saudara setanah air satu tanah air Indonesia. Penggusuran warga Rempang dari rumah dan lahannya adalah bentuk perampasan dan kedzaliman. Bagaimanapun juga lahan yang saat ini menjadi pemicu aksi demonstrasi warga Rempang Galang sudah ditinggali bertahun-tahun, bahkan sudah turun temurun dari generasi ke generasi puluhan tahun yang lalu. Wajar dan pantas mereka mempertahankan tanah kelahirannya dari pengambilan manfaat dengan cara paksa, karena hal itu bagian dari menjalankan syari’at Islam yang mengajarkan bahwa diwajibkan bagi umat muslim untuk menjaga semampu dan sekuat tenaga menahan harta dan benda dari pengambilan paksa, sekalipun terpaksa harus melawan kepada yang melakukan pengambilan paksa hingga taruhannya jiwa raga, maka akan mendapatkan pahala dan kesyahidan saat meregang nyawa. Begitulah ajaran Islam mengajarkannya, sehingga harus difahami para pihak yang berbuat pengambilan harta orang atas nama siapapun dengan cara paksa, maka akan menghadapi perlawanan dari pemilik hak, hatta sekalipun menang karena tangan besi kekuasaan tidak akan mendapat kebaikan melainkan akan menghizab masuk pintu kebahagiaan sebenarnya dunia dan akhirat.
Wallahu’alam.
Bandung, September 2023