JAKARTA, MENARA62.COM – Kongres Wanita Indonesia (Kowani) meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk segera melarang segala bentuk program penyiaran yang melanggar undang-undang khususnya yang meresahkan masyarakat seperti sinetron Zahra. Dalam sinetron tersebut, Ketua Umum Kowani Dr. Ir. Giwo Rubianto Wiyogo, M.Pd menilai selain mengandung unsur pelanggaran terhadap UU, juga mengandung unsur stimulasi pernikahan dini dan mempromosikan kekerasan psikis kepada anak.
“Karena itu Kowani menilai perlu dilakukan peninjauan kembali terkait muatan atau skenario dalam tayangan televisi, khususnya sinetron yang tidak mendidik dan merusak generasi masa depan bangsa seperti sinetron Zahra,” kata Giwo dalam keterangan tertulisnya, Kamis (10/6/2021).
Menurut Giwo, penyiaran, termasuk siaran televisi seharusnya menghormati dan menjunjung tinggi hak anak-anak dan remaja dan wajib mempertimbangkan keamanan dan masa depan anak-anak dan/atau remaja. Salah satu aturan dalam Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) & Standar Program Siaran (SPS) adalah menyangkut perlindungan kepada anak-anak dan remaja. Perlindungan terhadap anak dan remaja ini mencakup anak sebagai pengisi atau pembawa program siaran, anak sebagai pemeran dalam seni peran, dan anak sebagai materi atau muatan dalam program siaran.
Semua ini lanjut Giwo, merupakan implementasi dari UU No. 35 tahun 2003 tentang Perubahan atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak. Sehingga peran apapun yang melibatkan anak harus tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang ada, karena Undang – Undang bersifat memaksa, jadi harus ditaati dan dijalankan oleh seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia.
“Dengan demikian jangan sampai anak diberi peran-peran yang akan berpengaruh secara negatif bagi tumbuh kembang dan psikologisnya,” jelas Giwo.
Sebagaimana peraturan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP:115/MEN/VII/2004 tentang Perlindungan Bagi Anak yang Melakukan Pekerjaan untuk Mengembangkan Minat dan Bakat, bahwa lembaga penyiaran dan production house diperbolehkan melibatkan anak untuk mengembangkan minat dan bakatnya (dalam hal ini adalah seni peran). Namun pekerjaan tersebut tentu harus memenuhi kriteria yang biasa dikerjakan oleh anak sejak usia dini. Artinya, peran yang diberikan harus disesuaikan dengan usia anak.
Dalam kasus sinetron Zahra, Giwo menilai skenario sinetron mengandung unsur pembenaran untuk menikahkan perempuan yang masih dikatagorikan anak-anak dan peran istri yang dimainkan oleh pemeran di bawah umur. Ini merupakan penyebaran informasi yang bertentangan dengan UU no 16 tahun 2019 Perubahan Atas UU no 1 Tahun 1974. Penayangan program yang melanggar hukum yang berlaku seperti dalam sinetron Zahra, dapat dianggap menyebarkan informasi yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Dalam tayangan tersebut, Zahra sebagai pemeran utama sering mendapatkan kekerasan psikis berupa bentakan dan makian dari pemeran pria dan pemaksaan melakukan hubungan seksual. Hal ini dianggap mempromosikan kekerasan psikis dan seksual terhadap anak, padahal dalam Pasal 76C Undang-Undang Perlindungan anak jelas disebutkan bahwa perusahaan dalam hal ini Indosiar semestinya melakukan perlindungan dan menjauhkan anak dari ekploitasi ekonomi dan seksual.
Lebih lanjut Giwo mengatakan sinetron Zahra beresiko mempengaruhi masyarakat untuk melakukan perkawinan usia anak, kekerasan seksual dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Karena pada tayangan tersebut diceritakan bahwa Zahra sebagai pemeran utama dinikahkan dengan alasan untuk membayar hutang keluarganya. Jika nanti ditemukan kasus serupa di lapangan dan setelah digali peristiwa tersebut merupakan bentuk imitasi dari yang disiarkan oleh Indosiar maka pihak lembaga penyiaran dan production house dapat dipidanakan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Sinetron ini juga secara tidak langsung akan memengaruhi kondisi psikologis masyarakat dan menimbulkan Toxic Masculinity, dimana akan terbangun konstruksi sosial di masyarakat bahwa maskulinitas yang lekat sebagai sifat pria identik dengan kekerasan, agresif secara seksual, dan tidak boleh menunjukkan emosi. Hal ini akan mendorong dominasi, kekerasan, homofobia, dan perendahan terhadap perempuan,” tukas Giwo.
Bentuk Pelanggaran Sinetron Zahra
Kowani meyakini bahwa setiap tayangan yang disiarkan oleh televisi bermaksud mengedukasi masyarakat terkait perkawinan anak, eksploitasi anak dan kekerasan seksual. Namun yang disayangkan skenario yang dibuat oleh yang bersangkutan masih belum memperhatikan prinsip-prinsip pemenuhan hak anak dan perlindungan anak.
Sebagai Organisasi Perempuan yang konsen dalam upaya perlindungan anak termasuk pencegahan perkawinan anak, maka hal tersebut harus ada tindakan untuk mengingatkan adanya pelanggaran dalam siaran serta kode etik pertelevisian demi kepentingan terbaik bagi anak. Pertimbangan sebagai tindakan melanggar yang dilakukan dengan penayangan sinetron Zahra adalah pertama, tayangan sinetron Zahra melanggar UU Perlindungan Anak (UU No.23 Tahun 2002 dan UU No.35 Tahun 2014 ) serta UU Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974 dan UU No. 19 Tahun 2019 tentang perubahan Atas UU No. 1 Th 1974 , dimana menyebutkan minimal usia perkawinan adalah 19 Tahun.
Kedua, pemerintah bekerja keras untuk menurunkan target perkawinan anak 8.74 ,% tentu tidak mudah dengan adanya masih banyak tayangan2 dari lembaga pertelevisian yang mereduksi upaya pemerintah dlm menurunkan perkawinan anak. Tentu advokssi lebih diintensifkan.
Dan ketiga, Kowani bersurat kepada KPI untuk menegur Indosiar atas tayangan tersebut dan menghentikan sinetron yang sangat tidak mendidik.
“Kami juga akan melakukan koordinasi dan menyurati kementerian dan lembaga terkait untuk pro aktif dalam mengkampanyekan bermedia sehat khsusunya dalam penayangan program-program televisi,” tutup Giwo.
Kongres Wanita Indonesia (Kowani) adalah Organisasi Federasi Wanita tertua dan terbesar di Indonesia, memiliki 97 anggota organisasi yang tersebar diseluruh Indonesia dan beranggotakan kurang lebih 80 juta perempuan yang terdiri dari organisasi profesi, organisasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan, berdiri sejak tanggal 22 Desember 1928 melalui Kongres Perempuan Indonesia Pertama di Jogyakarta