30.1 C
Jakarta

Respon Kasus Kekerasan Seksual, Kemenag Bikin Aturan Perlindungan Anak di Pesantren

Baca Juga:

JAKARTA,MENARA62.COM – Kementerian Agama akhirnya menerbitkan regulasi anti kekerasan terhadap anak di pondok pesantren. Aturan itu tertuang dalam Keputusan Menteri Agama No 91 tahun 2025 tentang Peta Jalan Program Pengembangan Pesantren Ramah Anak.

Peraturan terbaru ini menjadi respon atas kasus-kasus penyerangan seksual terhadap anak didik yang terjadi di pesantren. Pesantren adalah lembaga pendidikan yang kental dengan nuansa agama, moral, dan karakter. Namun bukan berarti tidak ada kasus-kasus yang menodai lembaga ini.

Selama Januari-Agustus 2024 sudah 101 anak menjadi korban kekerasan seksual di pondok pesantren. Menurut catatan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), sebanyak 69 persen korbannya adalah anak laki-laki dan 31 persen anak perempuan.

Direktur Pesantren Kemenag, Basnang Said mengatakan, ada dorongan publik agar pihaknya membuat upaya yang jelas demi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di satuan pendidikan di lingkup Kementerian Agama, khususnya pondok pesantren.

Maka dari itu sebuah Keputusan Menteri Agama (KMA) ditandatangani Menteri Agama Nasaruddin Umar pada 30 Januari 2025. Kemudian peta jalan (roadmap) nya telah selesai hari ini.

“Peta jalan ini harus menjadi panduan bagi pesantren agar memiliki sensitivitas terhadap anak serta memberikan pelindungan maksimal,” kata Basnang di Jakarta (17/2/2025).

Regulasi ini antara lain mengatur batas kompetensi ustaz dan ustazah di pesantren, baik pada aspek kepribadian, sosial, pedagogik, maupun profesional. Selain menguasai ilmu yang diajarkan, pengajar harus memiliki kapasitas menyajikan teknik pengajaran ramah anak.

Persyaratan kompetensi ini akan dipadu dengan sistem deteksi masalah melalui Bimbingan & Konseling (BK). Dalam mekanisme ini, BK adalah bagian integral dari peran pendidik.

Menurut Basnang, semua guru di pesantren harus dapat membantu santri dalam menghadapi tantangan pribadi, akademik, maupun sosial, serta memberikan dukungan emosional yang diperlukan.

“Untuk itu mereka harus mampu menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif, interaktif, dan inklusif, di mana santri merasa nyaman untuk belajar, bertanya, dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran,” tandasnya.

Peta jalan ini, bila dilaksanakan, akan jauh meminimalisir kasus-kasus yang ada dengan cara mendeteksi dini dan menanganinya secara prosedural sebelum peristiwa lebih jauh terjadi. (*)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!