27.8 C
Jakarta

Reuni Rindu pada Rendra

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM — Kegelisahan seorang seniman akan ketimpangan sosial di negerinya akan ditemukan lewat karya-karyanya. Sebab, salah satu idealisme seniman adalah mengkritisi keadaan sosial yang sudah tidak berada pada jalannya.

Fragmen Panembahan Reso, Clara Sinta dan Adi Kurdi.

Seperti halnya W.S. Rendra, salah seorang sastrawan Indonesia yang tidak hanya bertindak sebagai sastrawan, tapi juga budayawan, aktor, dan lainnya, banyak melahirkan karya yang sampai saat ini masih relevan dengan kondisi sosial di negeri ini. Atas dasar itulah, Komunitas Burung Merak dan nusantaranews.co mengadakan sebuah apresiasi kerinduan terhadap sang maestro sastra tersebut. Acara yang digelar tersebut bertema “Rindu Rendra: Rakyat belum Merdeka” di Gedung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Jumat kemarin (17/8/2018) bertepatan dengan peringatan Hari Ulang Tahun Ke-73 Republik Indonesia.
Pada pergelaran apresiasi kerinduan tersebut, beberapa sahabat, kerabat, dan pencinta mendiang Rendra turut hadir membacakan puisi-puisi Rendra secara bergantian. Seperti Taufik Ismail, Linda Djalil, Sudibyo, dan juga fragmen panembahan reso oleh salah seorang anak mendiang, yaitu Clara Sinta berduet dengan Adi Kurdi.

Selendang Sulaiman, sebagai ketua panitia menyampaikan dalam sambutannya, bahwa kita perlu menyuarakan kembali apa yang pernah disuarakan oleh Rendra pada masa hidupnya. “Kami sangat berterima kasih pada guru kami, W.S. Rendra yang telah banyak memberi kami pelajaran tentang kegelisahan di negeri ini. Kami sengaja memberi tema Rindu Rendra: Rakyat belum Merdeka ini, karena kami melihat dan merasakan hal itu benar-benar terjadi dan kami melihatnya.” Sementara Rizal Ramli, salah seorang teman diskusi Rendra sedikit bercerita sebelum ia membaca puisi Rendra pada malam Rindu Rendra itu. Rizal menceritakan pengalamannya setelah kuliah di Tokyo, dia bercerita tentang jutaan anak-anak yang tidak sekolah karena tidak mampu. “Oleh sebab itu, Rendra menulis Sajak Sebatang Kosong sebagai kegelisahannya terhadap ketimpangan sosial pada waktu itu,” cerita Rizal. Rendra pernah menulis, lanjut Rizal bahwa negara ini milik rakyat. “Dan Rendra bukan hanya seorang sastrawan, budayawan, aktor dan sebagainya, tapi dia juga seorang intelektual. Sebab, antara pikiran dan hatinya selalu singkron.” S

Selain itu, beberapa sahabat, kerabat, dan sastrawan lainnya turut membaca puisi Rendra di atas panggung malam itu. Mereka merasakan kerinduan yang sangat kepada mendiang Rendra. Bahkan, pada diskusi sore harinya, Binhad Norrohmat, yang memoderati mengatakan, “Kerinduan kita pada Rendra adalah kerinduan yang bermakna.”

Rindu Rendra berlangsung hingga pukul 23.00 WIB, ditutup oleh Selendang Sulaiman dengan salah satu puisi W.S. Rendra.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!