oleh :
Machnun Uzni, S. I.Kom
Founder Sahabat Misykat Indonesia
Ada kisah menarik tentang perjalanan Nabi Yakub a.s., dan putranya Nabi Yusuf a.s. Kesedihan mendalam ketika sosok seorang ayah meratapi anaknya. Sebuah perpisahan dalam waktu yang lama dan sang ayah mengetahui akan ujian-ujian yang dihadapinya anaknya. Karena sedihnya yang berkepanjangan hingga mengakibatkan kebutaan di kedua matanya.
Terdengarlah sampai ditelinga sang anak yang sudah menjadi pembesar negeri. Ia titipkan gamis untuk ayahnya. Kemudian Nabi Yakub pun mengambil gamis yang berkeringat hadiah dari putranya Nabi Yusuf Alaihissalam, lalu mengusapkan ke wajahnya dan ia pun langsung bisa melihat kembali. Kisah ini pun tertulis di dalam Al Quran, yakni di Surah Yusuf.
“Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah dia kewajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali; dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku” (QS.Yusuf:93).
“Tatkala telah tiba pembawa kabar gembira itu, maka diletakkannya baju gamis itu ke wajah Ya’kub, lalu kembalilah dia dapat melihat. Berkata Ya’qub:
“Tidakkah aku katakan kepadamu, bahwa aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tidak mengetahuinya” (QS. Yusuf:96).
Kita bisa membayangkan ketika kemudian sang ayah dan anak ini saling memeluk ketika kemudian dipertemukan, dijumpakan dalam suasana penuh kebahagiaan.
Ramadan baru saja kita mulai. Bagi sebagai seorang perantau jauh hari sebelum Ramadan mempersiapkan pulang kekampung halaman.
Ada tarikan untuk pulang di akhir Ramadan sebagaimana kehidupan menuju kematian. Kampung kelahiran adalah tarikan kehidupan, untuk sekedar bernostalgia dengan kenangan atau menghapus peristiwa masa silam. Ada persaudaraan yang erat disambungkan, persahabatan akrab yang hendak dihubungkan ulang. Inilah tarikan kasih sayang, betapa berharga orang-orang yang singgah dalam kehidupan.
Jarak dan uang tidak lagi menjadi penghalang. Kelelahan dan menguras isi tabungan berganti dengan kegembiraan manakala bersua dengan saudara dan kawan. Orangtua lega, tetangga kiri kanan menyapa dengan penuh kehangatan. Inilah hari saya kasih sayang, hari kemenangan.
Tetapi hal yang di atas harus kita tahan. Saat pandemi Covid -19 sebagian kita harus menahan kerinduan mudik ke kampung kelahiran. Rindu yang tertahan karena ada larangan. Pemerintah sudah secara resmi melarang mudik. Perjalanan sangat dibatasi, Konon layanan transportasi umum baik , darat, laut dan udara dihentikan mulai tanggal 6 Mei hingga 17 mei. Menjadi ihtiyar meminimalisir persebaran covid-19.
Yang kita pendam di dada saat dengan orang-orang tercinta berjarak adalah rindu. Tapi apa boleh buat, ternyata saat-saat yang dinanti untuk bertemu itu dinyatakan sebagai hari-hari terlarang. Terhalang oleh keadaan atau aturan.
Kita harus jadikan kenyataan ini sebagai latihan berlapang dada. Terima saja keadaannya. Namanya menerima, berarti tidak akan mencari alasan, atau membanding-bandingkan dengan keadaan lainnya.
Jadikan rindu mudik ke tempat kelahiran sebagai pelembut hati. Rindu itu melembutkan perasaan. Rindu itu pemicu semangat berkreasi. Rindu itu energi. Hilang kesempatan merindu berarti ada simpanan energi potensi untuk memacu diri berkreasi dan memburu prestasi.
Berkacalah pada Yusuf a.s., menyampaikan rindu dengan mengirimkan kain gamis kepada ayahnya. Kita pun bisa melakukan, karena tertahan rindu mudik dilarang, dengan mengirimkan hadiah istimewa kepada keluarga ditanah kelahiran. Meskipun sebuah kehadiran tentu berbeda nilainya dengan sekedar bingkisan yang kita paketkan.
Tumpahkan rindu yang tertahan itu dengan nilai sosial kita, berbagi kepada yang membutuhkan di kanan kiri kita. Bukankah mereka yang pertama hadir disaat kita membutuhkan?