TIMIKA, MENARA62.COM — Jaminan keamanan dan kelangsungan hidup yang normal dari pemerintah, tak cukup untuk dapat merayu kembalinya para pengungsi korban kerusuhan Wamena, ibukota Jayawijaya, Papua. Banyak warga pendatang yang lebih memilih pulang kampung.
Ani Safsafubun, misalnya, mengaku traumatik. Dia tak ingin kembali ke Wamena, apalagi seluruh aset keluarganya ludes dibakar perusuh pada 13 September 2019.
Di Wamena, Ani sekeluarga tinggal dan membangun usaha di rumah toko (ruko) yang terletak di kawasan Pasar Misi atau Pasar Woma. Bersama suaminya, Chandra Letsoin, ia juga bekerja sebagai guru honorer di sebuah sekolah dasar di Kabupaten Yahukimo.
“Kini ruko saya semuanya habis. Sekarang kami mau pulang ke Tual (Maluku Tenggara). Kami tidak mau kembali ke Wamena karena trauma dengan kejadian itu,” kata Ani yang kini mengungsi di rumah kerabatnya di Timika, ibukota Kabupaten Mimika, Papua, sambil menunggu jadwal pelayaran kapal PT Pelni menuju Tual.
Suasana Menakutkan
Kepada Antara Ani mengisahkan, pada saat pecah kerusuhan, Senin (23/9/2019) pagi di Wamena, ia sedang berada di rumah kerabatnya, dekat Yayasan Pendidikan Islam (Yapis) Wamena, di belakang Kantor Bupati Jayawijaya. Tiba-tiba datang sekelompok pelajar dari luar mendatangi SMA Yapis, memaksa siswanya ikut demo, tapi ditolak.
“Para siswa ketakutan, ada yang sampai melompat dari lantai dua. Melihat situasi itu, saya memutuskan pulang ke rumah di Pasar Misi,” tutur Ani.
Tak lama kemudian, menurut Ani, kerusuhan disertai aksi bakar-bakaran kantor pemerintah, swasta maupun rumah-rumah warga, terjadi secara serentak. Kompleks perumahan guru bahkan gedung sekolah SMP Katolik Santo Thomas Wamena yang berada di dekat Pasar Misi, ikut menjadi sasaran amukan kelompok perusuh.
Akibat kerusuhan tersebut, lebih 30 orang tewas, sebagian terpanggang api di tengah kebakaran. Sementara ratusan orang lainnya terluka.
Para perusuh itu ditengarai datang dari luar Wamena. Sedangkan penduduk asli Wamena, yang disebut orang Lembah Baliem, bahkan ikut membantu menyelamatkan kaum pendatang yang jadi sasaran aksi perusuh berbau separatis itu.
Ani bersama keluarga dan tetangganya memutuskan mengungsi ke Kantor Dekenat Wamena. Beberapa saat setelah itu, massa perusuh membakar ludes Pasar Misi Wamena setelah terlebih dahulu membakar Kantor Bupati Jayawijaya dan fasilitas umum lainnya.
Massa perusuh sempat masuk ke Kantor Dekenat Wamena dengan menjebol pagar depan yang dikunci rapat. Sebagian memanjat pagar tembok dari arah belakang. Untuk meredam serangan perusuh, ibu-ibu pengungsi meminta pimpinan Dekenat mengenakan jubah pastor.
Tak lama kemudian aparat TNI dan Polri tiba di Kantor Dekenat Wamena. Mereka mengevakuasi warga ke Markas Kodim Jayawijaya.
“Kami satu minggu mengungsi di Kodim Jayawijaya lalu berangkat ke Jayapura menggunakan pesawat Hercules TNI Angkatan Udara,” ungkap Ani.
Setelah satu minggu di Jayapura, Ani dan rombongan pindah mengungsi ke Timika menggunakan pesawat komersial. Tiket penerbangannya ditanggung oleh keluaga besar masyarakat asal Kepulauan Kei, Maluku Tenggara.
Pengungsi lainnya, Paula Foza Hukunala, juga mengaku traumatik. Di Wamena ia tinggal di Jalan Bhayangkara dan tak mau kembali.
“Kalau ingat kejadian itu, saya tidak mau kembali lagi ke Wamena. Kami keluar dari rumah hanya dengan pakaian di badan saja. Anak saya yang paling kecil sampai kencing di celana,” kata Paula, yang baru bisa mengganti pakaiannya saat tiba di posko pengungsian di Jayapura.
Kini Paula bersama seorang putrinya yang masih kecil dan 14 orang pengungsi asal Kepulauan Kei, masih menantikan jadwal kapal menuju Tual. “Suami saya masih di Wamena atas permintaan aparat supaya laki-laki tetap tinggal di Wamena,” ujarnya.
Panglima Kodam XVII Cenderawasih Mayjen TNI Herman Asaribab menegaskan, pemerintah bersama aparat TNI dan Polri kini fokus untuk memulihkan situasi di Wamena. Aktivitas ekonomi, pendidikan, kesehatan, pemerintahan, dan lainnya terus diupayakan bisa berjalan normal kembali.
“Sekarang tidak ada lagi eksodus pengungsi dari Wamena. Yang ada, bagaimana kita secepatnya memulihkan situasi di Kota Wamena agar semua sektor bisa kembali bergerak,” kata Mayjen Asaribab, putra asli Papua yang baru memegang tongkat komando Kodam XVII Cenderawasih sejak 18 September 2019.