28 C
Jakarta

RUU EBT Penting untuk Menciptakan Mekanisme Pasar dan Permintaan Energi Terbarukan

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM — Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sudah memasuki tahap Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi VII DPR-RI. Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Energi Bersih menyatakan, rancangan tersebut sangat penting untuk menciptakan mekanisme pasar dan permintaan (demand) yang lebih pasti untuk mengembangkan energi terbarukan di Tanah Air.

Jannata Giwangkara, Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR), menyebutkan bahwa sudah ada sejumlah instrumen positif yang muncul dalam draf RUU yang dapat menciptakan mekanisme pasar dan permintaan tersebut. Instrumen dimaksud seperti Standar Portofolio Energi Terbarukan (SPET) dan Sertifikat Energi Terbarukan (SET) yang bisa menciptakan dan mengakselerasi jumlah permintaan energi terbarukan yang selama beberapa tahun terakhir stagnan, bahkan menurun.

“SPET ini nanti harapannya bisa mewajibkan badan usaha energi untuk membangun atau memproduksi energi terbarukan dari portofolio yang sudah ada. Misal, perusahaan batu bara, saat ini sudah mengembangkan lini bisnis ke arah energi terbarukan. Ini karena mereka sadar ET akan menjadi bisnis baru yang menguntungkan di masa depan. Sementara Sertifikat ET untuk mekanisme jual beli produksi energi terbarukan,” kata Jannata dalam diskusi media “Urgensi Energi Bersih dalam RUU EBT,” (23/9/2020).

Pembahasan RUU EBT yang saat ini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2020, harus tidak kalah progresif dengan pembahasan dan penyelesaian RUU Cipta Kerja, dan seharusnya hanya fokus untuk energi terbarukan saja. Apalagi proses penyusunan RUU ini sudah dimulai sejak Januari 2017 saat Komisi II DPD RI mengadakan RDPU dengan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI).

Jannata menyatakan, “Dari 13 negara di Asia Pasifik, sembilan negara di antaranya sudah memiliki UU khusus untuk energi terbarukan, bahkan sudah ada sejak tahun 2000. Untuk Indonesia, pemerintah memang sudah lebih dahulu menerbitkan UU Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi, ketimbang mengatur energi terbarukan secara umum. Sehingga sudah menjadi semakin urgen memiliki UU tersendiri untuk energi terbarukan dalam era transisi energi dan dekarbonisasi ini.”

Jannata menekankan, Indonesia juga memiliki target bauran energi. Terpenuhinya target bauran energi terbarukan di energi primer sebesar 23 persen pada 2025 sangat penting bagi pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29-41 persen pada 2030 dan komitmen Indonesia dalam Kesepakatan Paris. Sayangnya, pengembangan energi terbarukan di Indonesia sangat lambat, hingga 2018 baru mencapai 8,6%. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor salah satunya adalah kesenjangan kebijakan dan regulasi.

“Di sisi lain, terlepas dari sukses atau tidaknya RUU ini untuk fokus di energi terbarukan saja, porsi energi berbasis fosil harus bisa ditekan agar bauran energi terbarukan bisa lebih meningkat. Menurut Jannata, tahun 2020 dapat menjadi momentum penentu dan titik balik bagi Indonesia untuk mengejar ketertinggalan, baik untuk mencapai target-target di tanah air, maupun kemajuan energi terbarukan di tingkat regional,” kata Jannata.

Sejalan dengan pernyataan Jannata bahwa RUU seharusnya hanya fokus pada energi terbarukan saja, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Bersih menyatakan menolak nuklir dan energi baru berbasis energi fosil dimasukkan dalam RUU EBT. Dalam draf RUU EBT, sumber energi dibagi menjadi dua yaitu sumber energi baru dan sumber energi terbarukan. Nuklir diklasifikasi sebagai sumber energi baru, sementara energi matahari, angin, air, biomassa dan lainnya dikategorikan sebagai sumber energi terbarukan.

Mahawira Singh Dillon, peneliti Yayasan Indonesia Cerah, menyebutkan sejumlah alasan yang membuat penggunaan nuklir sebagai sumber energi untuk pembangkit akan sangat berisiko bagi Indonesia. Pertama, secara geografis, Indonesia terletak di kawasan Cincin Api (Ring of Fire) yang sangat aktif secara tektonik sehingga rawan bencana gempa bumi dan tsunami.

“Secara geografis, Indonesia tidak ramah nuklir karena berada di Ring of Fire. Kondisi ini sangat berisiko dan berpotensi mengganggu operasional PLTN. Kita semestinya bisa belajar dari kasus PLTN Fukushima di Jepang,” kata Wira.

Masih terkait kondisi geografis, penyimpanan limbah pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) juga memerlukan lokasi yang stabil dan kedap air. Menurut Wira, akan sangat sulit dan berisiko untuk menentukan lokasi penyimpanan limbah nuklir di Indonesia. Perencanaan fasilitas penyimpanan limbah nuklir harus memperhatikan potensi terjadinya kebocoran karena aktivitas tektonik. Bila limbah nuklir sampai bocor ke dalam air tanah, dampaknya akan sangat berbahaya.

Selanjutnya, memasukkan nuklir ke dalam RUU EBT merupakan langkah yang kontraproduktif dengan asas keberlanjutan, ketahanan energi nasional, serta asas kedaulatan dan kemandirian yang dicantumkan sebagai prinsip dasar penyusunan RUU ini. Hal ini terlihat jelas dari fakta bahwa Indonesia hanya memiliki pasokan uranium untuk mengoperasikan satu pembangkit dengan kapasitas 1.000 MWe selama enam hingga tujuh tahun.

Wira menjelaskan, “Jika Indonesia masih bersikeras untuk menjadikan nuklir sebagai sumber energi baru, maka tidak akan lama sebelum kita malah menjadi bergantung pada impor uranium dari luar negeri.”

Alih-alih menggunakan sumber energi nuklir yang sangat berisiko dan bertentangan dengan prinsip keberlanjutan dan kemandirian, Indonesia akan jauh lebih baik memanfaatkan sumber energi terbarukan. Sebagaimana diketahui, sumber energi terbarukan seperti surya, angin, air, biomassa, dan energi panas bumi Indonesia bukan hanya sangat melimpah, tetapi pembangunannya juga dapat diterapkan dari skala kecil hingga skala besar, dari daerah perkotaan hingga area terpencil, dengan teknologi dan inovasi yang terus berkembang dan semakin bersaing.

Indra Sari Wardhani, Energy Project Lead Yayasan WWF Indonesia, mengatakan “Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang sangat melimpah dan tersebar di seluruh Indonesia, namun pemanfaatannya belum optimal. RUU EBT seyogyanya jadi payung hukum untuk dapat menggantikan peran energi fosil yang cadangannya semakin menipis serta berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat.”

Hasil analisis yang dilakukan Universitas Gadjah Mada (UGM) memperlihatkan bahwa pengembangan energi terbarukan dapat ditingkatkan dengan mengendalikan pengembangan energi fosil. Untuk itu, dibutuhkan peta jalan (roadmap) transisi energi nasional yang memiliki kekuatan sehingga mengikat bagi semua dokumen pemanfaatan dan alokasi semua jenis sumber energi. Di dalam Inter-Parliamentary Union (IPU) disebutkan, parlemen bersama pemerintah memiliki peran penting membangun peta jalan transisi ekonomi rendah karbon melalui akselerasi energi terbarukan serta mengawasi implementasinya.

Koalisi melihat, perumusan RUU EBT yang efektif harus memiliki fungsi untuk mengisi kekosongan hukum, memperbaiki tata kelola, serta menjadi batasan terhadap intervensi yang bersifat politis. RUU EBT harus menetapkan secara jelas kewenangan, tanggung jawab, serta ruang lingkup para pemangku kepentingan yang terkait serta membangun peran dan sinerginya.

RUU EBT yang diinisiasi DPR seharusnya menjadi komitmen untuk memprioritaskan pengembangan energi terbarukan sebagai bagian dari upaya peningkatan ketahanan dan kedaulatan energi, penanggulangan krisis iklim serta pencapaian pembangunan berkelanjutan. (*)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!