Imam B Prasodjo
Sosiolog
Selama masa Pilkada DKI, ada sebagian dari kita (termasuk saya) mencoba menahan diri tak banyak bicara di media karena apa pun yang kita katakan, terasa lebih banyak membawa “mudharat” daripada “manfaat” bagi persaudaraan kita sesama warga bangsa. Namun melihat kondisi akhir-akhir ini yang semakin mengkhawatirkan, kini mungkin saat yang tepat, kita harus bicara bersama-sama, mencegah potensi konflik horizontal yang kelihatannya dapat setiap saat terjadi. Pengalaman kita pasca reformasi, khususnya 1999 hingga 2003, sungguh harus menjadi pelajaran kita bersama. Saya masih terbayang dan ikut merasakan kepedihan orang-orang tak berdosa, para korban konflik di Ambon, Maluku Utara, Sulawesi Tengah dan Kalimantan, yang saat itu harus hidup di tenda-tenda pengungsian. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak, kaum perempuan dan para warga lanjut usia. Kehidupan mereka yang sebelumnya tenang, penuh kedamaian, tiba-tiba mencekam penuh was was, sehingga terpaksa mereka harus pergi menyelamatkan diri, menjadi mengungsi di manapun arah kaki berlari.
Sungguh pertikaian terbuka yang sarat dengan sentimen kesukuan, ras dan agama telah memporak-porandakan kedamaian kehidupan kita. Amarah dan dendam terasa begitu bergemuruh membakar nafsu untuk saling melukai dan bahkan saling membunuh karena harga diri kita sebagai manusia merasa disinggung dan direndahkan. Suara keras, lantang, saling melecehkan dan merendahkan yang kita saling lontarkan, tanpa terasa telah menusuk hati kita masing masing. Kita pun lupa, kita sesama saudara warga bangsa yang pasti akan terus hidup berdampingan. Konflik besar terbuka 15-18 tahun lalu, yang sesungguhnya belum lama mereda, saat ini seperti terlupakan. Dengan melihat kejadian akhir-akhir ini, banyak orang bertanya, akankah kita ulangi pertikaian itu? Akankah bangsa ini harus mengalami derita yang jauh lebih tragis karena kita akan saling berbunuhan lebih dahsyat hingga menghancurkan masa depan kehidupan anak-anak kita? Akankah kita menjadi bangsa pengungsi yang harus pergi dari negeri sendiri karena di negeri sendiri rasa aman tak ada lagi? Ke manakah nanti kita harus melarikan diri, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, New Zealand ataukah Australia?
Saat ini, suara-suara keras saling melukai, terdengar kembali, bahkan terasa berulang-ulang diviralkan dengan bantuan teknologi komunikasi. Apa yang harus kita lakukan? Setidaknya untuk sementara, saat ini perlu kita tunda mencari siapa yang memulai kekalutan ini dan siapa yang bersalah. Bila ini dilakukan juga, pasti perdebatan berkepanjangan akan terjadi, masing-masing pihak cari berbagai alasan untuk bela diri, tak mau disalahkan, dan mau menang sendiri. Mungkin, yang penting dilakukan saat ini, masing-masing kita harus berusaha keras introspeksi diri dan menahan diri untuk tidak menambah situasi menjadi lebih runyam. Itu saja dulu dilakukan sambil berharap nasib baik masih ada pada negeri ini. Tentu kita tak ingin konflik horizontal seperti dulu terjadi di Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Kalimantan terulang lagi. Dan lebih tidak kita inginkan bila di negeri kita terjadi kehancuran seperti yang terjadi di Irak dan Suriah hari ini. Bukankah kita dapat melihat dengan kasat mata negeri itu hancur sehancur hancurnya, dan bahkan bangsa ini terancam punah?
Saat kita bicara seperti ini, memang masih saja ada yang bilang, “Kita bukan Suriah. Hal seperti itu tak mungkin terjadi di negeri kita.” Tapi ingat, beberapa tahun lalu, banyak warga Suriah juga tak pernah terbayang negara mereka akan seperti sekarang ini. Siapa yang terbayang bangsa Irak dan Suriah menjadi bangsa pengungsi yang “mengemis” untuk dikasihani. Mereka hancur seperti saat ini karena mereka tak mampu menahan diri, gagal bersama-sama mencegah kehancuran bersama.
Sebelum kejadian buruk seperti itu terjadi, harus ada pihak di negeri kita yang dengan sungguh-sungguh berupaya mencegahnya. Perlu banyak orang mengingatkan bahwa kehancuran bangsa bisa saja terjadi bila kita tak berhati-hati. Perlu diingatkan, tak ada satu pun pemenang dalam pertikaian. Apalagi bila telah ratusan dan ribuan korban berjatuhan. Semua akan menanggung rasa pilu dan kepedihan.
Entah mengapa pada saat ini, setiap kali saya menyaksikan ratusan atau apalagi ribuan orang berkerumun meneriakkan amarah, jantung jadi berdebar-debar. Apalagi ketika kerumunan itu dipandu oleh orang yang mahir mengolah kata-kata keras, bersuara lantang memekakkan telinga, membakar emosi. Saya selalu terbayang kerusuhan yang memakan korban, sewaktu-waktu akan pecah.
Banyak dari kita tentu memahami psikologi massa (kerumunan). Dari beragam jenis kerumunan, ada satu jenis kerumunan yang sangat berpotensi untuk meledak menjadi kerusuhan. Kerumunan itu adalah kerumunan marah yang teragitasi atau diagitasi. Dalam kerumunan semacam ini, tiap orang yang ikut berkumpul sangat mudah kehilangan kontrol diri? Ibaratnya, satu orang dalam kerumunan menyambit batu, yang lain dengan mudah akan ikut-ikutan mengikutinya. Satu orang menerobos pagar berduri, ratusan orang tanpa banyak fikir akan mengikutinya, tanpa peduli terhadap keselamatan diri. Satu orang memberi komando “serbu”, yang lain dengan spontan akan segera maju menyerang melakukan apa saja dan kepada siapa saja, tak pandang bulu. Itulah kerentanan tiap kerumunan marah. Inilah psikologi massa yang memang bercirikan sifat “primitif”, ibarat hewan yang tak berakal membabi buta, menyerang siapa saja yang dipersepsikan sebagai musuhnya.
Karena itu, manakala sebuah bangsa terlalu banyak dipenuhi kerumunan marah (angry crowd) di jalan-jalan di setiap kota, kita pun hanya dapat berdoa semoga Tuhan masih sayang pada bangsa ini. Tak ada orang yang bisa menjamin kerumunan marah itu akan tetap bisa berdiam, mampu mengontrol diri. Siapa yang bisa menahan emosi pada kerumunan yang emosinya dipupuk, dibangkitkan kemarahannya setiap hari? Karena itu, bila kita ingin mencegah kehancuran negeri ini, kurangi kerumunan marah, cegah jangan terlalu banyak aksi jalanan yang meluapkan emosi, dan segera transformasikan ketidak-puasan dan kemarahan ke dalam dialog dan diskusi dingin yang lebih berorientasi pada menyelesaikan masalah daripada melampiaskan amarah. Kita perlu coba bangun kembali cara-cara yang melegakan hati, membangun hubungan kembali untuk saling sayang menyayangi. Rasulullah SAW bersabda:
لَا تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ
“Kalian tidak akan masuk surga kecuali beriman. (Tapi kalian) tidak termasuk beriman kecuali saling sayang menyayangi. Inginkah aku tunjukkan pada kalian sesuatu yang bila kalian kerjakan dapat mempererat kasih sayang? Sebarkan salam (kedamaian) di antara kalian.” (Hr. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibn Majah).