27.3 C
Jakarta

Sahabat Polisi Indonesia Siap Kawal Implementasi UU TPKS

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Sahabat Polisi Indonesia gelar kegiatan Dialog Publik dan Ngabuburit Seru bertema “Masa Depan Perempuan Indonesia Setelah Pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)”, Selasa (19/4/2022). Kegiatan yang digelar di Hotel RA Premiere, Jakarta Selatan tersebut menghadirkan narasumber Kustiah, dari JPHP – KKS dan AKBP Rita Wulandari, Kasubag Setpusinafis Bareskrim POLRI.

Dialog publik yang dihadiri perwakilan dari Bareskrim Mabes Polri, JPHP – KKS, Akademisi, DPW/DPC SPI se-Jadetabek dan tokoh agama tersebut dipandu langsung oleh Direktur PPA Sahabat Polisi Indonesia, Sabena, M.Ikom.

Dalam sambutannya, Ketua Umum Sahabat Polisi Indonesia Fonda Tangguh mengajak semua elemen Sahabat Polisi Indonesia mampu menjadi corong bagi aspirasi masyarakat luas.  Baik itu corong bagi masyarakat terhadap POLRI atau sebaliknya, POLRI terhadap masyarakat.

“Karena itu saya mengajak agar kita semua lebih solid lagi, mengingat tanggungjawab kita menjembatani aspirasi masyarakat dan POLRI sangat penting,” katanya.

Pada kesempatan yang sama, Sabena yang akrab disapa Bena mengatakan pasca ditetapkannya UU TPKS, penting bagi Sahabat Polisi Indonesia untuk turut mensosialisasi dan mengedukasi masyarakat terkait UU tersebut. Dengan pemahaman yang baik terkait materi UU tersebut maka diharapkan masyarakat lebih waspada dalam melakukan berbagai tindakan terutama saat berhubungan dengan persoalan perempuan.

“Tindak kekerasan seksual terhadap perempuan amat banyak terjadi di tengah masyarakat. Terbitnya UU ini menjadi harapan bagi para perempuan untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan yang memadai,” katanya.

Menurutnya perlindungan terhadap kaum perempuan dari tindak kekerasan seksual merupakan hal yang penting dan sangat mendesak. Sebab saat ini banyak perempuan yang mengalami tindak kekerasan seksual yang kemudian berdampak buruk bagi si perempuan itu sendiri baik menyangkut fisik maupun psikis. Kasus-kasus kekerasan seksual akan terus membayangi perempuan selama tidak ada produk hukum yang memberikan perlindungan memadai.

Padahal jelas Bena, ketika seorang perempuan menjadi korban kekerasan, maka efek dominonya sangat besar. Tidak hanya menyangkut fisik dan psikis perempuan yang bersangkutan tetapi juga menyangkut kondisi anak dan negara.

“Jika perempuan tidak terlindungi, lantas perempuan hancur, maka siap-siaplah negara akan tumbang,” lanjut Bena.

Kehancuran negara yang dipicu oleh kondisi perempuan ini dapat terjadi mengingat perempuan adalah madrasah yang pertama dan utama bagi anak-anak. Jika perempuannya rusak, maka rusaklah anak, rusak pula negara.

Lebih lanjut Bena menjelaskan bahwa tidak semua orang paham apa definisi dari tindak kekerasan seksual terhadap perempuan. Pemahaman masyarakat cenderung menghubungkan kekerasan seksual lebih kepada hubungan suami istri. Padahal kekerasan seksual memiliki makna yang sangat luas seperti trafficking, aborsi, pemaksaan kehamilan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan menggunakan alat kontrasepsi KB, eksploitasi foto-foto perempuan untuk tindakan seronok dan lainnya.

“Hal-hal inilah yang harus dipahami oleh masyarakat luas. Tujuannya agar mereka lebih berhati-hati ketika berhubungan dengan perempuan. Sekarang perempuan sudah memiliki payung hukum yang jelas,” tambahnya.

Sementara itu, Kustiah dalam paparannya mengatakan UU TPKS merupakan inisiatif dari DPR RI sejak 2012. UU ini dalam perjalanannya mengalami banyak pro dan kontra saat dilakukan pembahasan. “UU TPKS awalnya adalah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang dibidani oleh Komisi 8. Dalam prosesnya, RUU ini diwarnai dengan berita-berita hoaks yang luar biasa sampai masyarakat menjadi apatis. Itu kemudian yang membuat RUU PKS diubah menjadi UU TPKS,” jelasnya.

Kustiah menjelaskan UU TPKS memiliki 6  elemen penting yakni Tindak Pidana Kekerasan Seksual; Pemidanaan (sanksi dan tindakan); Hukum Acara Khusus yang hambatan keadilan bagi korban, pelaporan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, termasuk pemastian restitusi dan dana bantuan korban; Penjabaran dan kepastian pemenuhan hak korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan melalui kerangka layanan terpadu; dengan memperhatikan kerentanan khusus termasuk dan tidak terbatas pada orang dengan disabilitas;

Lalu Pencegahan, Peran serta masyarakat dan keluarga; dan Pemantauan yang dilakukan oleh Menteri, Lembaga Nasional HAM dan masyarakat sipil.

“UU ini ruhnya bukan balas dendam kepada pelaku, tetapi lebih kepada pencegahan, pemantauan dan pemulihan terhadap korban kekerasan seksual,” tukasnya.

Ia membeberkan bahwa berdasarkan pendampingan yang dilakukan oleh 400-an lembaga yang fokus pada perlindungan perempuan dan anak, diperoleh fakta bahwa korban kekerasan seksual selalu terpuruk nasibnya. Mereka tidak hanya mengalami sakit fisik, trauma psikologis tetapi juga harus menanggung risiko finansial sendiri. “Ada banyak kasus ketika perempuan menjadi korban kekerasan seksual, maka untuk visum saja harus keluar biaya sendiri. Sungguh ini sangat ironis,” tambahnya.

Senada juga disampaikan oleh AKBP Rita Wulandari. Diakui bahwa perempuan korban kasus kekerasan seksual seringkali harus menanggung risiko yang sangat berat. Karena itu ia bersyukur pada akhirnya UU TPKS bisa diterbitkan.

Ia berharap dengan terbitnya UU TPKS ini, kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan bisa diminimalisir. “Kami dari kepolisian bersama Sahabat Polisi Indonesia, juga masyarakat siap mengawal implementasi UU ini di lapangan,’ tutupnya.

Dialog publik tersebut ditutup dengan tausyiah dan buka puasa bersama.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!