33.3 C
Jakarta

Sastrawan Danarto Berpulang

Baca Juga:

Selamat jalan sastrawan Indonesia, Danarto. Sang Maha pemberi kehidupan telah memanggilmu. Dalam Godlob kumpulan cerpenmu, banyak memberikan inspirasi bagi kalangan muda peminat literasi. Jejakmu amat jelas dalam dunia seni di Indonesia.

Seorang sahabat menukilkan sebagian dari buku kumpulan cerpenmu.

Kalau ada seorang yang menderita luka datang kepada seorang politikus, maka dipukullah luka itu, hingga orang yang punya luka itu akan berteriak kesakitan dari lari tunggang langgang. Sedangkan kalau ia datang pada seorang penyair, luka itu akan di elus-elusnya hingga ia merasa seolah-olah lukanya telah tiada. Sehingga tidak seorangpun dari kedua macam orang itu berusaha mengobati dan menyembuhkan luka itu. (Dialog politikus dengan anaknya yang menjadi prajurit, seusai perang).

Sastrawan Indonesia Danarto meninggal dunia, pada Selasa (10/4/2018), pukul 20.54 WIB. Penulis cerpen dan novel fenomenal dalam sejarah sastra Indonesia ini, sebelumnya mengalami kecelakaan di kawasan Kampung Utan, Ciputat, Tangerang Selatan Banten.

Ia tertabrak sepeda motor ketika sedang menyeberang menuju sebuah bank, sekitar pukul 13.30 WIB. Dari lokasi kecelakaan, Danarto sempat dibawa ke RS UIN Syarief Hidayatullah, yang lokasinya paling dekat dari tempat kejadian. Ia pun akhirnya dirujuk ke RS Fatmawati, karena luka parah di bagian kepala.

Saat ditangani di UGD RS Fatmawati, sejumlah sastrawan nampak berkumpul, antara lain Uki Bayu Sejati, Teguh Wijaya, Radhar Panca Dahana, Noorca Massardi, Chavchay Syaifullah, Heryus Saputro, Bambang Prihadi, dan Amien Kamil. Mereka menemani detik-detik terakhir kepergian sastrawan yang karib dengan sufisme.

Danarto mengaku tidak lahir dari komunitas pondok pesantren atau keluarga yang Islami. Ia bahkan mengaku besar dari keluarga abangan. Sampai usia 26 tahun, hampir tak mengenal shalat apalagi mengaji al Quran. Namun, hidayah itu datang ketika berusia 27 tahun. Ketika itu, ia berhadapan dengan hamparan sawah di daerah Garut, tiba-tiba saja ia merasa kedekatan dan ingin mendekati Allah. Sejak itulah, ia sering berkemeja putih dan belajar Islam dan berusaha tidak meninggalkan shalat lima waktu.

Danarto adalah anak seorang mandor pabrik tebu di Sragen, pasangan Jakio Harjodinomo dan Siti Aminah, yang lahir pada 27 Juni 1941. Dengan pekerjaan sebagai mandor dibantu Aminah yang berjualan batik, ayah Danarto tidak mengalami kesulitan dalam memberikan bekal pendidikan bagi anaknya. Pendidikan dari SD, sampai perguruan tinggi dapat dinikmati Danarto dengan baik. Tahun 1958—1961 Danarto hijrah ke Yogyakarta untuk melanjutkan studinya di ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) dan mengambil seni lukis sebagai bidangnya.

Selain seni lukis, Danarto memang dianugerahi bakat dalam bidang seni sastra. Pada tahun 1959—1964 ia bergabung dengan Sanggar Bambu Yogyakarta untuk dapat menumpahkan hasrat dramawannya. Sejak itu, dia sering ambil bagian dalam pagelaran drama yang diadakan Rendra dan Arifin C Noor, meski sekedar menangani rias dekorasi.

Tahun 1969, Danarto mulai menginjakkan kaki di Jakarta. Ia “terdampar” di TIM (Taman Ismail Marzuki), dengan terlebih dahulu menjadi tukang poster, sebelum akhirnya menjadi pengajar di IKJ (Institut Kesenian Jakarta) pada tahun 1973. Pada tahun-tahun inilah, karya monumentalnya tercipta. Kumpulan cerpen-cerpennya diterbitkan pada tahun 1974 dengan judul Godlob. Godlob sendiri adalah judul cerpen Danarto yang pernah dimuat majalah Horison pada tahun 1968. Judul cerpen inilah, yang dijadikan nama sampul kumpulan cerpen yang diterbitkan oleh Rombongan “Dongeng dari Dirah”.

Semasa hidupnya, dia telah menulis sejumlah buku sastra yang fenomenal, selain Godlob, antara lain Asamaraloka, Adam Makrifat, dan Orang Jawa Naik Haji. Rencana jenazah akan dimakamkan di Sragen, Jawa Tengah.

Dinukil dari laman galeribukujakarta.com, Danarto adalah sastrawan dan pelukis terkemuka di Indonesia. Pada tahun 1976 ia mengikuti lokakarya Internasional Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat, bersama pengarang dari 22 negara.  Ia memang berbakat dalam bidang seni. Pada tahun 1958—1962 ia membantu majalah anak-anak Si Kuncung, yang menampilkan cerita anak sekolah dasar. Ia menghiasi cerita itu dengan berbagai variasi gambar. Selain itu, ia juga membuat karya seni rupa, seperi relief, mozaik, patung, dan mural (lukisan dinding). Rumah pribadi, kantor, gedung, dan sebagainya banyak yang telah ditanganinya dengan karya seninya.

Pada tahun 1969—1974 ia bekerja sebagai tukang poster di Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Pada tahun 1973 ia menjadi pengajar di Akademi Seni Rupa LPKJ (sekarang IKJ) Jakarta. Pada tahun 1979—1985 bekerja di majalah Zaman.

Drama

Danarto lebih gemar berkecimpung dalam dunia drama. Sejak tahun 1959—1964 ia masuk menjadi anggota Sanggar Bambu Yogyakarta. Itu dunia seni pertamanya, dan dari situ pula ia mengenal pementasan drama dan tokoh-tokohnya.

Pada tahun 1970 ia bergabung dengan misi Kesenian Indonesia dan pergi ke Expo 1970 di Osaka, Jepang. Pada tahun 1971 ia membantu penyelenggaraan Festival Fantastikue di Paris. Ia juga melakukan kegiatan sastra di luar negeri. Pada tahun 1983 ia mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda.

Tulisannya yang berupa cerpen banyak dimuat dalam majalah Horison, seperti “Nostalgia”, “Adam Makrifat”, dan “Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat”. Di antara cerpennya, yang berjudul “Rintrik”, mendapat hadiah dari majalah Horison tahun 1968.

Pada tahun 1974 kumpulan cerpennya dihimpun dalam satu buku yang berjudul Godlob yang diterbitkan oleh Rombongan Dongeng dari Dirah. Karyanya dengan pengarang lain, yaitu Idrus, Pramoedya Ananta Toer, AA Navis, Umar Kayam, Sitor Situmorang, dan Noegroho Soetanto, dimuat dalam sebuah antologi cerpen yang berjudul From Surabaya to Armageddon (1975) oleh Herry Aveling.

Karya Danarto juga ada yang dimuat dalam majalah Budaya dan Westerlu (majalah yang terbit di Australia). Karyanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang, Inggris, Belanda, dan Prancis. Cerpennya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh  Harry Aveling  diberi judul From Surabaya to Armagedonn (1976) dan Abracadabra  (1978).

Dalam bidang film, ia pun banyak memberikan sumbangannya yang besar, yaitu sebagai penata dekorasi. Film yang pernah digarapnya ialah Lahirnya Gatotkaca (1962), San Rego (1971), Mutiara dalam Lumpur (1972), dan Bandot (1978).

Selamat jalan, Mas Danarto!

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!