JAKARTA, MENARA62.COM — Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal Otoritas Jasa Keuangan (Satgas Pasti OJK) akan membentuk Pusat Penanganan Penipuan Keuangan (Pusaka). Menyusul jumlah korban dan nilai kerugian akibat penipuan (scam) di sektor keuangan cukup besar dan cenderung akan terus meningkat.
Hal tersebut diungkapkan Irhamsah, Analis Eksekutif Kelompok Spesialis Pengawasan Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Irhamsah mengungkapkan hal itu kepada wartawan pada acara Guyub Bareng Media se Jawa Tengah dan DIY di Jakarta, Kamis (5/9/2024).
Lebih lanjut Irhamsah mengatakan selain jumlah korban dan nilai kerugian yang semakin meningkat juga ada alasan lain, Di antaranya, belum terwujudnya penanganan yang cepat dan berefek jera terhadap beragam bentuk penipuan (scam) yang terjadi di sektor keuangan Indonesia.
“Juga melaksanakan amanat pasal 5 huruf c dalam pasal 8 angka 3 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang pengembangan dan penguatan sektor keuangan mengatur bahwa dalam rangka mencapai tujuan, OJK berfungsi memberikan perlindungan terhadap konsumen dan masyarakat,” kata Irhamsah.
Irhamsah menambahkan ada tiga target Pusaka, pertama, penundaan transaksi (pemblokiran) penipuan dengan cepat dan penyelamatan dana korban. Kedua, identifikasi pelaku penipuan (akan terkoneksi dengan Si Pelaku. Ketiga, penindakan hukum bekerjasama dengan DPJK dan Polri.
Irhamsah menjelaskan OJK terus melakukan pemberantasan penipuan transaksi keuangan. Sejak 2017 hingga Agustus 2024, Satgas Pasti OJK telah menghentikan 10.890 entitas keuangan ilegal. “Nilai kerugian akibat investasi ilegal 2017 sampai 2023 sebesar Rp139.674 triliun” kata Irhamsah.
Irhamsah juga mengingatkan agar masyarakat mewaspadai pinjaman online (Pinjol) ilegal. Pihaknya mencatat, Pinjol legal dan diawasi OJK berjumlah 98, termasuk tujuh platform dengan sistem syariah. Sedangkan Pinjol ilegal jumlahnya jauh lebih banyak yaitu 9.180.
“Pinjol ilegal berbahaya karena dapat menyedot seluruh data handphone, seperti kontak, foto, multimedia, dan lain-lain. Kedua, tingkat bunga pinjaman dan denda sangat tinggi.
Ketiga, perilaku debt collector yang mengancam saat melakukan penagihan. Keempat, data pribadi terancam tersebar, risiko dipermalukan di seluruh kontak. “Kelima, korban pinjol ilegal akan terjebak dalam utang berkepanjangan,” jelasnya. (*)