BELITUNG, MENARA62.COM — Salah satu dilema industri sawit saat ini adalah tuntutan traceability (kemamputelusuran). Pelaku industri sawit meminta tuntutan traceability (kemamputelusuran) tidak menciptakan konflik sosial di masyarakat. Pasalnya, perusahaan menghadapi dilema karena mereka wajib membeli TBS petani. Namun, pada saat yang sama ada tuntutan untuk membuktikan sumber buah sawit yang dibeli dari petani bebas deforestasi dan tidak berada di kawasan hutan.
“Sebagai produsen, kami dituntut sustainability dan traceability, itu yang kami kerjakan. Tetapi, perlu juga dukungan dan kepastian hukum dari pemerintah terkait persoalan ini,” katanya.
Dia mencontohkan satu kasus pabrik sawit yang menolak membeli buah sawit petani untuk memenuhi permintaan traceability. Alasannya, perkebunan sawit petani berada di kawasan hutan.
“Setelah dua minggu tidak beli, pabrik mereka dapat ancaman akan dibakar. Itu sebabnya, traceability ini membuat industri mengalami kesulitan,”ujar Togar.
Togar menjelaskan permintaan traceability dari pembeli termasuk pemerintah harus melihat kondisi di lapangan. Oleh karena itulah, baik produsen maupun pembeli menjalankan traceability secara bijak.
“Traceability jangan sampai membunuh industri termasuk perkebunan sawit petani. Kami minta pemerintah berikan kepastian hukum. Ibaratnya kalau hitam bilang hitam, jika putih ya katakan putih,“ ujarnya.
Selain itu, Togar menambahkan, pemerintah perlu bekerja lebih keras untuk melindungi industri sawit Indonesia dari maraknya kampanye hitam terutama negara-negara di Eropa.
“Kampanye hitam tanpa fakta objektif dan tendensius dibarengi dengan ancaman boikot akan terus mengikuti perjalanan industri minyak sawit Indonesia yang kini menjadi pemain wahid di pasar minyak nabati dunia. Untungnya, pemerintah masih punya keberpihakan, meskipun setengah hati,” pungkasnya.