ACEH, MENARA62.COM — Hasil investigasi terbaru yang dilakukan oleh Rainforest Action Network (RAN) menemukan perusahaan kehutanan raksasa Royal Golden Eagle (RGE Group) masih mensuplai dari pabrik dan produsen minyak sawit yang telah dikeluarkan dari daftar sebagian besar pemasok minyak sawit dunia karena melanggar kebijakan nol deforestasi dan perusakan lahan gambut, padahal dua tahun sebelumnya RGE juga terungkap sebagai pendorong deforestasi pada hutan Singkil Bengkung, Kawasan Ekosistem Leuser, Aceh.
Temuan kali ini menjadikan perusahaan merek-merek besar dunia dan bank-bank yang berbisnis dengan RGE ikut terlibat dan gagal mengakhiri deforestasi dalam rantai pasok minyak sawit serta portofolio keuangan mereka.
Meskipun terbukti gagal mematuhi kebijakan Nol Deforestasi, Nol Pembangunan di Lahan Gambut dan Nol Eksploitasi (NDPE), RAN masih menemukan bahwa RGE terus memasok minyak sawit ke merek-merek besar, termasuk Unilever, Kao, Procter and Gamble, PepsiCo, Mondelēz, Nestlé dan Colgate-Palmolive, dan masih menerima pendanaan dari bank-bank dunia seperti MUFG, ABN Amro, dan ICBC. APICAL selaku anak perusahaan minyak sawit RGE Group juga masih mempertahankan kemitraan usaha patungannya dengan Kao meskipun Minyak Sawit Bermasalahnya terbukti masih dipasok dari produsen yang menghancurkan habitat terakhir gajah dan orangutan Sumatera di Kawasan Ekosistem Leuser.
“Kegagalan RGE Group untuk mematuhi kebijakan dasar nol deforestasi dan pembangunan di lahan gambut, menjadi tanggung jawab besar bagi perusahaan yang masih terus melakukan bisnis dengan perusahaan kontroversial ini, padahal konsumen dunia semakin menuntut agar bank-bank dan perusahaan merek untuk menghentikan perusakan hutan dari rantai pasokan atau portofolio keuangan mereka,” ujar Maggie Martin dari Rainforest Action Network dalam keterangannya (25/6/2021).
Sebuah petisi daring bahkan dicetuskan pada laman change.org/knowyourbank oleh TuK INDONESIA, menuntut Bank MUFG dan anak perusahaannya Bank Danamon untuk berhenti mendanai deforestasi, kebakaran, dan pelanggaran HAM di Indonesia. MUFG menjadi bank yang ikut bertanggung jawab atas masalah deforestasi, konflik lahan, dan kebakaran dan asap yang terjadi dalam operasional grup RGE karena tercatat sebagai penyandang dana besar bagi grup RGE milik Sukanto Tanoto.
“Kegagalan merek-merek besar seperti Unilever, Kao, Procter and Gamble, PepsiCo, MondelÄ“z dan Nestlé untuk mengeluarkan RGE dari rantai pasok mereka merupakan sebuah pelanggaran nyata atas kebijakan NDPE perusahaan-perusahaan ini. Kucuran dana ABN Amro dan MUFG kepada RGE juga jelas bertentangan dengan kebijakan NDPE untuk pembiayaan minyak sawit mereka. Bank-bank ini harus segera meninjau dan menangguhkan pembiayaan mereka ke RGE,” Maggie menambahkan.
Penyelidik lapangan RAN telah mengumpulkan bukti yang menunjukkan bahwa TBS sawit yang ditanam di perkebunan yang dioperasikan oleh perusahaan minyak sawit nakal PT Laot Bangko telah dipanen dan diangkut ke pabrik yang dioperasikan oleh PT Sawit Semesta dan telah dikeluarkan dari rantai pasok beberapa perusahaan merek dunia. Namun, PT Global Sawit Semesta masih menjual minyak sawit mentah ke kilang minyak sawit yang dioperasikan oleh RGE, temuan ini menjadikan RGE Group telah terungkap dua kali terkait dengan perusakan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser dalam setahun.
PT Laot Bangko sendiri sejak tahun 2014 berulang kali terungkap oleh RAN merusak hampir 300 acre hutan yang menjadi habitat gajah dan orangutan Sumatera yang terancam punah. Temuan tersebut diungkap pada tahun 2018 dan 2019, melalui dari citra satelit ditemukan aktivitas pembukaan hutan terus berlanjut hingga awal 2021.
RGE juga baru-baru ini terungkap ikut terlibat dalam deforestasi di kawasan hutan dan lahan gambut yang sangat penting di Kalimantan Utara melalui perusahaan bayangan pemasok kayu pulp PT Adindo Hutani Lestari miliknya yang tercatat sebagai pemasok pabrik pulp dan bubur kertas grup APRIL. Ratusan kasus yang belum selesai menunjukkan kegagalan total RGE untuk menyelesaikan konflik dan pelanggaran hak-hak Masyarakat Adat dan lokal yang terkena dampak pembangunan perkebunannya. Dalam laporan yang diterbitkan RAN pada bulan Desember 2020 juga dijelaskan bahwa RGE tidak memiliki kebijakan dan prosedur yang memadai yang diperlukan untuk menghormati hak-hak Masyarakat Adat dan masyarakat lokal untuk memberikan atau menolak memberikan Persetujuan Atas Dasar Informasi di awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) terkait pembangunan di tanah mereka. (*)