JAKARTA, MENARA62.COM – Ibadah puasa pada hakekatnya melakukan banyak perubahan; pertama, mulai dari perubahan kebiasaan makan setiap waktu, kini berubah dari saat sebelum imsak’ hingga berbuka (ifthar); kedua, menahan diri dari perkataan dan perbuatan yang dapat membatalkan ibadah puasa; ketiga, perubahan untuk bertaubat karena banyak dosa yang kita lakukan.
Di saat berpuasa di bulan Ramadhan dengan sungguh-
sungguh, semoga dosa kita diampuni Allah Swt. Ala qulli hal, semua menghendaki perubahan diri, dari kesalehan pribadi kepada kesalehan sosial.
Pentingnya Kesalehan Sosial
Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan hidup bermasyarakat untuk mewujudkan umat terbaik (khoiru umat). Memang tidak mudah di tengah banyaknya penyakit sosial seperti korupsi yang seolah tiada henti. Negara ini terus mengalami musibah korupsi yang memprihatinkan.
Apakah di saat puasa atau pasca puasa korupsi akan berhenti?. Jawabnya ada pada kesalehan pribadi yang berakumulasi kepada kesalehan sosial. Untuk mewujudkan kesalehan sosial diperlukan langkah kongkrit; pertama, perubahan sistem yang dapat mencegah korupsi dari mulai niat hingga perilaku.
Hal ini harus ada satu sistem yang terkoneksi pada semua lini kehidupan; kedua, sumber daya yang memiliki integritas dan kapasitas yang terbukti mampu menjalankan mesin birokrasi dengan bersih. Pertanyaannya apakah dengan sistem dan SDM yang seperti ini akan mampu mencegah dan menghentikan korupsi saat Ramadhan hingga pascasa Ramadhan?
Jawabnya kembali kepada kesadaran kolektif untuk mewujudkan kesalehan sosial. Karena seorang yang soleh, namun karena sistemnya rusak, maka pribadi dan sosial akan rusak.
Oleh sebab itu kembali kepada niat dan tekad rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Karena tingkat kehidupan beragama menurut Geertz seperti melihat keberagamaan orang Jawa berkait dengan ketaatan dan ketidaktaatan dalam beragama.
Clifford Geertz melihat Islam Jawa lebih didasarkan pada konteks-konteks animisme, tradisi Hindu dan adat Jawa Kuno. Jadi mengubah tradisi beragama agar taat kepada Allah, bukan kepada hawa nafsu. Korupsi karena serakah, tamak, rakus harus di cegah lewat ibadah puasa.
Indonesia sebagian negara yang ber Ketuhanan yang Maha Esa harus menjadi kekuatan spritual untuk membentuk pribadi taqwa tentu tidak sekali jadi, maka setiap tahun berpuasa menurut ulama sebagai “olah jiwa” dan olah iman agar semakin baik, semakin bertaqwa.
Hal tersebut diatas disampaikan oleh Sekjen MUI Dr. Amirsyah Tambunan saat di konfirmasi media pada hari pertama Ramadahan 1446H, Sabtu (1/3/25).
“Saya ingin dan berkewajiban mengajak umat Islam Indonesia agar menggunakan momentum Ramadhan dengan moto: Indonesia Berpuasa, Mewujudkan Kesalehan pribadi kepada kesalehan Sosial”, ujar Buya Amirsyah.
Karenanya menurut dirinya kita harus yakin ibadah puasa yang bisa membentuk diri menjadi insan yang bersih lahir batin seperti yang disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir. Puasa yang terintegrasi bukan hanya menahan diri dari makan minum dan pemenuhan kebutuhan biologis, tapi juga menjadikan diri menjadi orang yang punya kemampuan memelihara, merawat dan menjaga diri.
Selanjutnya Haedar Nashir mengatakan setiap tahun kita berpuasa tidak cukup hanya sebagai ritual individual semata, tetapi puasa harus memancarkan diri kita yang menjadi Uswah Khasanah (teladan yang baik) dalam kehidupan.
Tokoh teladan di Indonesia sebagai Pahlawan Nasional telah berupaya mewujudkan kesalehan pribadi menjadi kesalehan sosial di masa hidupnya sejati K.H. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah; Buya Hamka Ketua Umum pertama MUI. Proklamator Kemerdekaan RI, Soekarno-Hatta, dan lain lain.
“Mereka tokoh-tokoh hebat yang patut kita lanjutkan kesalehan pribadinya kepada kesalehan sosial demi anak cucu kita dan demi kelangsungan bangsa. Oleh karena itu mari kita jadikan ibadah puasa Ramadhan sebagai muhasabah sekaligus momentum transformasi dari kesalehan pribadi kepada kesalehan sosial,” pungkasnya.