25.2 C
Jakarta

Sekjen MUI: Islam Wasathiyah Meneguhkan Cara Berpikir dan Bertindak Umat

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Sekjen MUI, Amirsyah Tambunan secara langsung memberikan apresiasi atas penyelenggaraan acara Pengkajian Ramadhan yang dilaksanakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan tema “Pengembangan Wasathiyah Islam Ber kemajuan Tinjauan Teologis, Ideologis, dan Praksis. Acara tersebut digelar di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Sabtu (6-8/3/25).

Di hadapan 400-an peserta, Sekjen MUI, buya Amirsyah menegaskan Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan telah menjadi salah satu kekuatan masyarakat (social capital) dalam bidang ekonomi agar mandiri, yang bisa membiayai dirinya sendiri melalui skema Zakat, Infaq, Shodaqah dan Wakaf (Ziswaf) salah satu pilar kekuatan Muhammadiyah.

“Karena itu Muhammadiyah diharapkan mampu menjadi kekuatan penyeimbang di saat para konglomerat belum memberikan dampak yang signifikan kepada masyarakat bawah,” ujar Buya Amirsyah dalam paparanya.

Sekjen MUI mengawali pengkajiannya dengan merujuk istilah wasathiyah sebagai keseimbangan (al-tawazun), yakni keseimbangan antara dua jalan atau dua arah yang saling berhadapan atau bertentangan: spiritualitas (ruhiyah) dengan material (madiyah).

Individualitas (fardiyyah) dengan kolektivitas (jama’iyyah).Wasathiyah merujuk dari akar kata “wasatha”. Menurut Muhammad bin Mukrim bin Mandhur al-Afriqy al-Mashry, pengertian wasathiyah secara etimologi berarti:

وَسَطُ الشَّيْءِ مَا بَيْنَ طَرْفَيْهِ

Artinya: “sesuatu yang berada (di tengah) di antara dua sisi.

Pemahaman Islam wasathiyah harus merujuk pada khazanah Islam klasik. Mulai dari pengertian wasathiyah terdapat banyak pendapat dari para ulama yang senada dengan pengertian tersebut, seperti Ibnu ‘Asyur, al-Asfahany, Wahbah al-Zuḥaily, al-Thabary, Ibnu Katsir dan lain sebagainya; pertama, Ibnu ‘Asyur, kata wasath berarti sesuatu yang ada di tengah atau sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding.

Yang kedua, al-Asfahany, kata wasathan berarti tengah-tengah di antara dua batas (a’un) atau bisa berarti yang standar. Kata tersebut juga bermakna menjaga dari sikap melampaui batas (ifrath) dan ekstrem (tafrith).

Ketiga, Wahbah al-Zuhaili dalam tafsir al-Munir menegaskan bahwa kata al-wasath adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah atau مَرْكَزُ الدَّائِرَةِ, kemudian makna tersebut digunakan juga untuk sifat atau perbuatan yang terpuji, seperti pemberani adalah pertengahan di antara dua ujung;

Keempat, Al-Thabary memiliki kecenderungan yang sangat unik, yakni memiliki kecenderungan yang sangat unik, yakni dalam memberikan makna seringkali berdasarkan riwayat.

Terdapat 13 riwayat yang menunjukkan kata al-wasath bermakna al-‘adl, disebabkan hanya orang-orang yang adil saja yang bisa bersikap seimbang dan bisa disebut sebagai orang pilihan. Firman Allah QS: al-Baqarah: 143

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

Artinya: “Dan yang demikian ini Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat pertengahan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kalian.

Ada sepuluh karakter pengamalan Islam Wasathiyah menjadi kekuatan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yakni; pertama, Tawaauth (mengambil jalan tengah), kedua, Tawazun (berkesinambungan); ketiga, I’tidal (lurus dan tegas); keempat, Tasamuh (toleransi); kelima, Musawah (egaliter non diskriminatif); keenam, Syura (musyawarah); ketujuh, Islah (reformasi), kedelapan,Awlawiyah (mendahulukan yang prioritas); kesembilan, Tathawwur wa ibtikar (dinamis, kreatif, dan inovatif), dan; kesepuluh, Thaddhur (berkeadaban).

“Itu semuanya merupakan satu kesatuan yang harus menjadi karakter dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,” pungkasnya

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!