JAKARTA, MENARA62.COM– Program sekolah gratis semestinya bisa memperluas akses siswa dari keluarga miskin untuk mendapatkan pendidikan lebih baik. Tapi nyatanya, program tersebut malah membuahkan ketidakadilan pendidikan yang semakin nyata.
Sebab selama 14 tahun program sekolah gratis, sebagian besar penikmatnya adalah siswa dari ekonomi menengah ke atas.
“Sekolah gratis kan adanya di sekolah negeri. Kita lihat siswa yang bisa masuk ke sekolah negeri adalah siswa yang NEM-nya bagus, pintar, dan pasti itu hanya dimiliki oleh siswa dengan fasilitas pendidikan di keluarga yang mendukung. Siswa yang memang berasal dari keluarga kaya,” papar Indra Charismiadji, Direktur Eduspec Indonesia di sela diskusi kelompok terpumpun ‘Menyusun Cetak Biru Pembangunan Manusia Indonesia Di Tingkat Dasar dan Menegah yang digelar GESS, Jumat (29/9/2017).
Sementara siswa dari keluarga miskin lebih banyak masuk ke sekolah-sekolah berbayar alias sekolah swasta. Hanya sebagian kecil siswa miskin yang bisa mendapatkan bangku di sekolah negeri.
Menurutnya, mustahil untuk menghadapkan siswa dari keluarga miskin dalam sistem kompetisi nilai saat hendak masuk ke sekolah menengah. Sebab umumnya anak-anak yang memiliki nilai bagus, NEM tinggi adalah anak-anak yang gizinya bagus, bisa membeli buku penunjang, bisa ikut bimbingan belajar dan memiliki waktu banyak untuk belajar.
Bandingkan dengan siswa dari keluarga miskin. Indra menceritakan bahwa siswa dari keluarga miskin pasti tidak bisa ikut bimbingan belajar yang notabene biayanya memang mahal. Status gizi mereka rendah, dan fasilitas belajar juga tidak memungkinkan.
Indra mengaku prihatin dengan kondisi pendidikan yang demikian. Mengingat anggaran pendidikan yang digelontorkan oleh pemerintah sedemikian besar nilainya dan siapapun terutama siswa miskin berhak untuk menikmati pendidikan yang lebih baik.
Untuk memperbaiki kondisi yang demikian, Indra menilai perlunya pemerintah menyusun blueprint pendidikan yang melibatkan semua instansi terkait. Tidak hanya Kemendikbud, tetapi juga Kemenag, Kemendagri, Pemerintah Daerah, Kemenko PMK dan lainnya.
Blueprint yang dimaksudkan adalah semacam cetak biru penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Blueprint ini tidak hanya menjamin hak semua siswa untuk bisa mengakses pendidikan yang sama baiknya, tetapi juga untuk menjaga agar pembangunan pendidikan tetap berada di koridornya, tidak dimasuki oleh unsur atau kepentingan politik.
“Kemendikbud baru punya rencana jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang pembangunan pendidikan. Tetapi cetak biru pembangunan pendidikan belum ada,” tukas Indra.
Sementara itu Dr Saur Pandjaitan, Sekretaris Jenderal Taman Siswa membenarkan bahwa siswa miskin sebagian besar malah sekolah di sekolah-sekolah swasta.
“Sekolah negeri itu banyak dari keluarga mampu, sementara yang siswa miskin malah banyak di sekolah swasta yang notabene berbayar,” katanya.
Saur berpendangan masalah pembangunan pendidikan utamanya sekolah harus ada sentralisasi. Selama masih menggunakan sistem desentralisasi maka sekolah-sekolah swasta selamanya akan dianaktirikan.
Menurutnya, sekolah swasta sekitar 50 hingga 60 persen mutunya berada dibawah sekolah negeri, sekitar 20 hingga 30 persen setara dengan negeri dan hanya 10 persen yang mutunya diatas sekolah negeri. Tetapi sekolah swasta dengan mutu setara negeri atau bahkan diatas sekolah negeri, mengutip bayaran sekolah yang teramat mahal dan itu jelas tidak terjangkau oleh siswa miskin.