28.2 C
Jakarta

Semakin Berilmu, Semakin Tawaduk

Baca Juga:

“Man ‘allamani harfan, kuntu lahu ‘abdan” (Ali Ibn Abi Thalib r.a.)

Siapa yang tak kenal pemuda cerdas, sepupu, sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW., yang disemati gelar “pintu kota ilmu” atau “gerbang pengetahuan” (Babu Madinatil ‘Ilmi)?

Dialah yang sejak belia mengikrarkan janji tauhid, hidup dalam naungan wahyu, selalu bersama dengan Sang Rasul, dan kelak menjadi salah satu khalifah di antara Khulafa Al-Rasyidin. Dialah Ali Ibn Abi Thalib r.a.

Kecerdasan intelektual dan kefasihannya dalam bertutur adalah ciri khas sekaligus keistimewaannya. Kumpulan pidato, khutbah dan surat-surat yang ditulisnya kemudian dibukukan dan diberi judul “Nahj al-Balaghah (Jalan Kefasihan)”

Salah satu ungkapannya yang populer adalah seperti penulis kutip di awal tulisan ini. “Man ‘allamani harfan kuntu lahu ‘abdan.” Siapa yang mengajariku satu huruf, maka aku bersedia untuk menjadi abdinya.

Betapa rendah hati dan tawaduknya Sang Gerbang Pengetahuan tersebut. Dia, yang kecerdasan intelektualnya diakui oleh Rasulullah Saw., yang kefasihan bertuturnya diamini oleh para sahabat Nabi, masih mau menerima pelajaran dari orang lain, bahkan dari mereka yang kadar intelektualitasnya jauh di bawah dirinya. Sungguh, sebuah sikap luar biasa yang jarang sekali dimiliki oleh manusia modern saat ini.

Lihatlah kenyataan saat ini, betapa sering kita jumpai orang-orang yang baru tahu sedikit tentang masalah agama, gayanya sudah seperti ulama besar yang mempelajari agama puluhan tahun. Baru saja hafal satu dua ayat dan beberapa buah hadis, itu pun didapat dari buku-buku terjemahan, lagaknya sudah seperti mufti yang ahli berfatwa. Sehingga dengan gampang menyebut orang lain yang berbeda pendapat dengannya sebagai ‘sesat’, ‘kafir’, ‘munafik’, ‘ahli neraka’. Seolah-oleh dia atau mereka sudah mengantongi tiket surga, atau menjadi panitia penerimaan penghuni surga, yang bisa menyeleksi siapa yang layak dan tidak masuk surga.

Mereka ini adalah orang-orang yang merasa paling benar sendiri, dan tidak mau menerima pendapat orang lain. Mereka ini adalah orang-orang yang ilmunya baru seujung kuku, tetapi merasa sudah menyentuh langit, sehingga kakinya tidak menginjak bumi.

Marilah belajar dari sikap Ali Ibn Abi Thalib, yang demikian tawaduk, meski ilmunya setinggi langit. Dia begitu menghargai pendapat orang lain, bersedia belajar dari siapa pun, selalu merasa kurang ilmu, miskin pengetahuan, dan minus pengalaman.

Dengan merendahkan hati kita, maka kemuliaan yang akan kita dapat. Sebalik keadaan,  dengan meninggikan diri kita, kehinaan yang akan kita peroleh.

So.. semakin berilmu, hendaknya kita semakin tawaduk. Semakin berpengetahuan, semakin menyadari kekurangan.

Ruang Inspirasi, Selasa (1/9/2020)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!