Lewat sedikit setengah lima dini hari tadi, saya buka pintu rumah. Saya dan putraku akan shalat subuh di Masjid Omar Gwynenville, New South Wales, Australia, kurang lebih satu kilometer dari rumah. Sesaat setelah membuka pintu rumah, saya mencium bau asap yang tidak biasa. Saya periksa beberapa ruangan di rumah. Aman. Kami tetap berangkat ke masjid.
Dalam perjalanan dari rumah ke parkiran, bau asap masih menyengat. Sesampai di masjid, keluar dari mobil, kembali bau asap terasa lebih pekat. Setelah salat subuh, akhirnya saya sadar bau asap ini adalah asap dari dedaunan dan kayu-kayuan.
Di kampung kakek saya, Desa Panggulangan Sipirok Tapanuli Selatan Sumatera Utara, dulu sekitar 30 tahun lalu, saya ingat masak nasi pakai kayu bakar. Di rumah kami juga pernah pakai kayu bakar, bahkan ke hutan cari kayu bakar. Di sawah mau minum kopi atau teh untuk ayah saya, kami masak air pakai kayu bakar. Di sawah dan kebun, kami bakar rumput atau dedaunan yang sudah dibabat atau jerami padi. Jadi saya dapat ingat bagaimana jenis asap dari kayu bakar dan rumput.
Asap
Ahad lalu, dalam perjalanan ke Kota Shellharbour, sekitar 30 kilometer dari Kota Wollongong, saya mendapati kota diselimuti asap. Asap kiriman dari kawasan hutan yang terbakat. Media cetak, media elektronik dan media sosial, memberitakan bahwa Australia sedang kena musibah. Kebakaran semak dan hutan di berbagai kawasan.
Dua hari lalu air hujan sempat turun di kota ini. Langit menjadi lebih cerah. Saya pikir kebakaran sudah berhenti karena hujan. Ternyata belum. Pasukan pemadam kebakaran sudah dikerahkan untuk memadamkan api. Banyak anggota pasukan ini yang sudah kelelahan. Mereka berjibaku dengan api di pedalaman dengan suhu udara yang ekstrim, cukup tinggi. Respek atas usaha dan semangat juang mereka.
Beberapa korban jiwa sudah jatuh, diantaranya adalah orang tua lanjut usia. Polisi mengetuk pintu rumah warga, memastikan rumah telah dikosongkan, atau meminta agar segera mengungsi ke tempat yang lebih aman. Puluhan helikoper turut membantu satuan tugas pemadam kebakaran untuk memadamkan api yang terus berkobar di hutan belantara dan padang rumput yang luas.
Hutan di sini memang mudah terbakar. Selain kering, jenis kayunya adalah kayu yang sesuai untuk kondisi tanah yang miskin air, kayunya pun sedikit mengandung air. Demikian pula padang ilalang, mudah kering. Sedikit saja ada percikan api, baik dari petir atau kiriman api yang dibawa angin, maka dia akan mudah sekali terbakar.
Sementara sekarang juga telah masuk musim panas. Suhu udara naik turun, bisa mencapai 40°c. Suhu yang cukup panas. Pemerintah memberi peringatan agar mempersiapkan diri baik baik jika ada aktivitas di luar rumah, memakai topi, sun glasses, dan memperbanyak minum air putih.
Siang ini saya menatap ke langit. Udara cerah tertutup asap tebal. Asapnya tak terbang, seolah berhenti di ketinggian memandang umat manusia di bawahnya. Pekan lalu, orang tua teman saya, ditunda kepulangannya ke Indonesia. Pesawat dari Sydney terhalang asap. Jadi saya bisa bayangkan kesulitan yang dialami negara tetangga kita jika ada kebakaran hutan di Pulau Sumatera.
Sudah hampir satu bulan musibah ini melanda Benua Kanguru ini. Bukan hanya manusia yang jadi korban. Dilaporkan pula binatang ternak jadi korban. Juga hewan liar di hutan. Seperti kelinci dan kanguru. Musibah ini menjadikan warga Australia sangat sedih. Dan usaha memadamkan api terus dilakukan oleh pemerintah.
Mudah-mudahan hal ini cepat teratasi. Kembali normal seperti biasa. Daun-daun melambai diterpa angin. Pohon hijau berseri. Binatang berlari-lari di sepanjang padang ilalang. Warga menikmati udara segar, menghayati karunia Ilahi. Karunia yang tiada taranya. Doa kita bersama menyertai semua.
Penulis : Haidir Fitra Siagian, Gwynneville, Kamis (21/11/2019)