Senin (16/8/2021) pagi ini, kalau di Indonesia sedang tegang menantikan pidato kenegaraan yang akan disampaikan Presiden Joko Widodo terkait APBN, dan hari kemerdekaan, di negara jiran Malaysia, juga ada ketegangan.
Senin ini, akan menjadi hari-hari yang sangat menentukan dan juga menegangkan di Malaysia. Sudah santer di media Malaysia, berita rencana pengunduran diri Muhyiddin, sebagai Perdana Menteri (PM). Langkah ini diambil terkait dukungan politik yang dimilikinya mulai melemah. Sejumlah catatan dapat diungkapkan terkait kondisi ini.
Pertama, setalah hampir 2 tahun memimpin Malaysia tanpa Pemilu Pemerintah koalisi Perikatan Naasional di bawah kepemimpinan PM. Muhyiddin menghadapi paling tidak tiga badai yaitu “Badai Pandemi Covid 19, Badai Politik dan Badai Ekonomi”. Modal utama Muhyiddin hanya satu, yaitu Raja Yang Dipertuan Agung. Tanpa campur tangan atau “Political Blessing” Raja Muhyiddin tidak akan menjadi PM memimpin pemerintah Perikatan Nasional. Atas restu dan ijin raja juga, Muhyiddin menjalankan Undang-undang Darurat. Undang-undang inilah yang memungkinkan dia bisa melanjutkan kepemimpinan politiknya dengan relatif aman untuk sementara dari gangguan tokoh-tokoh oposisi dengan alasan menangani covid. Dia diselamatkan karena argumentasi Pandemi tapi sekaligus sebetulnya menjadi pertaruhan politiknya. Jika dia gagal menangani Pandemi dan gagal melindungi atau menyelamatkan rakyat dan bangsa dari kesengsaraan ekonomi, maka pastilah terancam.
Kedua, gelombang pertama Pandemi telah berhasil ditangani dengan cukup fenomenal. Malaysia dipuji oleh banyak kalangan atas keberhasilannya. Akan tetapi sejak Pemilu di Sabah September 2020, gelombang lebih dahsyat kembali menyerang hingga hari ini. Korban melonjak, kesengsaraan ekonomi semakin menjadi-jadi dan ditetapkanlah Undang-undang Darurat sejak Februari 2021 hingga awal Agustus 2021. Kesalahan fatal yang dilakukan Muhyiddin, adalah kemudian mencabut UU Darurat tanpa melalui mekanisme pembahasan di Parlemen dan tanpa ijin Raja.
Padahal sesuai dengan konstitusi, Rajalah yang paling berhak menetapkan dan mencabut undang-undang darurat. Alasan ekonomi tampaknya menjadi pendorong pencabutan undang-undang tersebut. Kecaman bermunculan antara lain dari tokoh penting oposisi yaitu Anwar Ibrahim dan Mahathir Mohammad. Tak kurang tokoh senior UMNO T. Razaleigh dan juga presiden UMNO ikut mengecam tindakan inkonstitusional Muhyiddin. Bahkan Presiden UMNO sudah menyatakan akan menarik dukungannya terhadap pemerintah dan mundur dari koalisi.
Ketiga, Muhyiddin tetap bertahan dengan pandangannya bahwa (1) langkah pencabutan undang-undang darurat tidaklah bertentangan dengan konstitusi dan (2) dia tetap penuh percaya diri akan memperoleh dukungan untuk melanjutkan kepemimpinannya. Akan tetapi, perkiraan Muhyiddin meleset, dan karena itu dia harus mundur meletakkan jabatannya sebagai PM Malaysia.
Pemerintah koalisi Perikatan Nasional itu didukung oleh 113 anggota parlemen. Tipis sekali dukungan yang diperoleh. Jangankan UMNO yang memiliki suara 39 di parlemen dengan 14 orang menteri kabinet, ada tiga anggota parlemen saja yang menarik dukungan dan keluar dari koalisi (misalnya Partai Rakyat Serawak dua orang, dan Parti Bersatu Sabah seorang) maka jatuhlah pemerintah dan akan digantikan dengan pemerintah baru berdasarkan kepada skema koalisi baru.
Keempat, isu paling panas adalah tentang siapa yang akan menggantikan Muhyiddin, saat ia bertemu Raja untuk meletakkan jabatannya.
Paling tidak ada lima skenario yang bisa terjadi tentang pengganti Muhyiddin. 1) Wakil Perdana Menteri Datuk Seri Ismail Sabri Yaakob. Akan tetapi ini sangat tergantung kepada UMNO (pemilik 39 anggota parlemen) dan Partai Bersatu (pemilik 31 anggota parlemen). Skema ini arahnya adalah tetap mempertahankan pemerintahan koalisi Pekatan Nasional dan yang diganti hanya PM-nya saja. Sikap UMNO tentu akan diarahkan kepada dua pilihan. Pertama tetap mempertahankan pemerintah koalisi dengan menyetujui dan mendukung naiknya Ismail Sabri sebagai PM, atau mundur dari koalisi menjatuhkan pemerintah dan membentuk kabinet baru.
2) Jika Ismail yang ditetapkan, maka dia akan menyiapkan pemilu yang tentu konstelasi politiknya bisa berubah menjelang pemilu. Namun, menjadi pertanyaan apakah mungkin dilaksanakan pemilu dalam situasi berat Pandemi ini? Jika tak mungkin ada pemilu, maka ada kemungkinan Ismail akan menjadi PM dalam waktu yang lebih lama.
3) Jika pilihannya adalah membubarkan pemerintah koalisi Pekatan Nasional, maka Presiden UMNO (Ahmad Zahid Hamidi) akan mendapatkan peluang itu. Tentu, dia memastikan mendapatkan suara tambahan dukungan. Siapa pendukungnya? Bisa partai-partai yang semula berkoalisi dalam Pekatan Nasional di tambah partai-partai lain dengan memecah partai-partai oposisi yang dipimpin Anwar Ibrahim.
4) Anwar Ibrahim juga mendapatkan peluang. Tantangannya sama seperti yang dihadapi oleh Presiden UMNO yaitu menambah suara dukungan dari partai lain sehingga paling tidak bisa mencapai 113. Jumlah ini pun, sebetulnya merupakan dukungan yang sangat tipis seperti yang dimiliki Muhyiddin. Beberapa sumber menyebutkan peluang Anwar Ibrahim cukup besar. Bahkan Yang Dipertuan Agung diduga cenderung memilih Anwar sebagai PM Ad Interim.
5) Bahkan bisa jadi, bukan tokoh yang selama ini muncul dalam kontroversi politik Malaysia. Diantara tokoh yang sempat muncul di permukaan akhir akhir ini seperti, Tengku Razaleigh Hamzah (Ku Li), tokoh senior UMNO. Dia melakukan kritik kepada Muhyiddin dan ikut mendesak agara Muhyiddin turun. Besar kemungkinan dia bisa diterima oleh banyak kalangan.
Semua, pada akhirnya tergantung kepada Raja Yang Dipertuan Agung siapa sebetulnya yang akan menggantikan Muhyiddin, dan dengan skenario lain di luar skenario di atas.
Penulis: Sudarnoto Abdul Hakim, Peneliti dan Pengamat Malaysia dari FAH UIN Jakarta.