24.5 C
Jakarta

Separatisme dan Kejahatan Kemanusiaan di Papua

Baca Juga:

Oleh: Muh Fitrah Yunus)*

“O Tempora! O Mores!”

Tak habis terdengar di telinga kita, korban dari masyarakat sipil maupun TNI –Polri di Intan Jaya, Papua, terus berjatuhan. Bahkan, sampai saat ini masih terjadi kontak senjata antar TNI-Polri dengan kelompok kriminal bersenjata di Papua.

Baru beberapa bulan yang lalu, dilansir oleh sebuah media, yang menyatakan bahwa masyarakat sipil menjadi korban atas kebrutalan kelompok kriminal bersenjata itu. Hanya berselang sebentar, kali ini, satu anggota TNI gugur.

“Tak manusiawi”! Mungkin itu kata yang pantas dari penulis untuk “mengatai” orang-orang yang tergabung dalam Kelompok Kriminal Bersenjata Papua yang banyak memakan korban. Siapa yang tidak marah serta kesal, mendengar masyarakat yang sedang mencari nafkah dari berjualan, menjadi tukang ojek, “diberondong” peluru oleh KKB.

Apa yang dikatakan oleh Cicero (106 – 43 SM)  sebagai “O Tempora! O mores!”. sungguh tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi di Intan Jaya, Papua. “O Tempora O mores” secara harfiah adalah: “O Zaman, O Kebiasaan”. Sebuah ungkapan yang memiliki arti lebih umum: “zaman macam apakah ini, akhlak macam apakah ini”.

Antara KKB dan KKSB

Pada Desember 1961, Organisasi Papua Merdeka didirikan. Tujuannya satu, menentang penguasaan Indonesia terhadap Irian Jaya, yang saat ini disebut Papua dan Papua Barat. Mereka ingin menyatakan dan menegakkan Papua Merdeka dari Indonesia.

OPM ingin membentuk wilayah kedaulatan sendiri, dan negara yang merdeka. OPM sendiri sudah menjadi organisasi terlarang dan dilarang beredar di Indonesia, karena memiliki ideologi untuk memisahkan diri dari Indonesia sebagaimana tertera pada pasal 87 KHUP tentang perbuatan untuk melakukan suatu tindak makar.

Secara Pidana, OPM diklasifikasi sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) karena melakukan kejahatan bersama-sama. Namun, ia juga dapat dikategorikan sebagai Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB) karena ingin memisahkan diri dari Indonesia dan menciptakan negara/pemerintahan baru.

Perbedaan klasifikasi ini juga menghadirkan perbedaan dalam penanganan aksi OPM di Papua. Ada yang mengatakan bahwa mereka adalah kelompok teroris yang meresahkan, meneror, bahkan membuat ketakutan dengan membunuh masyarakat. Namun, di sisi lain menganggap bahwa mereka mengakui dirinya sebagai Tentara Nasional Papua, dan aktivitas terornya hanya di Papua saja.

Ada yang bilang bahwa mereka, OPM, dalam setiap tindakan pidananya masuk dalam wilayah penanganan kepolisian. Namun, ada juga beranggapan bahwa ini adalah tindakan makar, separatisme dan terorisme. TNI harus menjadi garda terdepan menumpas mereka yang ingin lepas, merdeka dari Indonesia.

Dipelihara?

Apakah betul KKB maupun KKSB di Papua dipelihara? Sampai saat ini penulis belum bisa memastikannya, apalagi ingin mengungkap siapa yang memeliharanya. Namun, yang harus digaris bawahi oleh seluruh masyarakat bahwa KKB maupun KKSB yang ada di Papua sampai saat ini masih eksis.

Hingga saat ini, sudah berapa lama Polri dan TNI berada di Intan Jaya, Papua, karena ingin menyelesaikan teror bersenjata tersebut. Berita yang menyayat hati, bahwa hampir tiap bulan ada korban dari Polri, TNI, bahkan dari masyarakat sipil. TNI yang baru-baru ini menjadi korban harus menjadi empati rakyat, dan mendorong kepada pemerintah sebuah upaya penyelesaian yang baik dan tuntas.

Siapa yang tidak miris, pada bulan November tahun 2020 lalu, ditemukan seorang oknum Brimob, Aparatur Sipil Negara, dan mantan anggota TNI yang berkali-kali jual senjata kepada kelompok KKB Papua. Praktik jual beli senapan itu diungkap oleh tim gabungan Polri-TNI.

Tercatat bahwa sudah tujuh kali praktik jual beli senjata itu dilakukan. Kapolda Papua, Irjen Paulus Waterpauw mengungkapkan bahwa harga senjata laras panjang dibeli MJH dengan harga Rp 150 juta di Jakarta. Senjata api itu dijual kepada pemesan melalui DC dengan harga Rp 300-350 juta tergantung jenisnya.

Keterangan Irjen Paulus Waterpauw memberikan bukti bahwa ada sekelompok orang yang teroganisir dengan rapi, massif dan terstruktur dalam praktik jual beli senjata tersebut. Dan tidak main-main, aktor utamanya melibatkan Oknum Brimob, oknum ASN dan mantan anggota TNI. Pertanyaannya kemudian, apakah praktik seperti ini sudah “dibabat” habis oleh pemerintah lewat TNI-Polri?

Beragam Solusi

Menyelesaikan persoalan separatisme di Papua tentu berbeda dengan yang di Aceh, meski ada hal yang sama yang pernah digunakan oleh pemerintah, seperti dialog dengan tokoh-tokoh adat, agama dan pemerintah setempat.

Namun, jika ditelisik, hingga saat ini pemerintah sudah banyak menjalankan dialog agar dapat meredam kebrutalan KKB Papua, tapi selalu saja nihil hasil. Mendorong otonomi khusus Papua, misalnya, sampai saat ini tidak mampu menyelesaikan masalah KKB Papua.

Terakhir, mendorong Operasi Militer Selain Perang, juga sudah pernah menjadi masukan DPR ke pemerintah agar dibuat PP nya. Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dinilai dapat menyelesaikan masalah KKB Papua.

Saat ini, kabarnya, kontak senjata masih berjalan. Tentu hal ini membuat “was-was” masyarakat sipil yang ada di sana. Bagi penulis, TNI, Polri tokoh-tokoh adat, agama, dan pemerintah, perannya tidak hanya bagaimana menyelesaikan konflik dengan KKB Papua, tapi mengamankan masyarakat sipil agar jauh dari potensi menjadi korban kebrutalan KKB Papua juga tak kalah penting. Semoga!

)*Penulis adalah Direktur Eksekutif Trilogia Institute

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!