Krisis kesehatan karena covid-19 telah mendorong terjadinya krisis ekonomi.
Saat ini, pertumbuhan ekonomi yang semula diharapkan di atas 5%, faktanya malah negatif bahkan karena pertumbuhannya sudah dua kuartal negatif berturut-turut, maka berarti negeri ini sudah dilanda resesi dan badai PHK tentu akan sangat sulit untuk dihindari.
Hal-hal semacam ini, kalau tidak tertangani dengan baik tentu akan berpotensi menimbulkan masalah. Masalah itu berupa adanya polarisasi dan kegaduhan politik. Apalagi sekarang, publik sudah melihat muncul perbedaan-perbedaan yang tajam di antara warga dan elemen-elemen masyarakat, dengan pemerintah dalam berbagai isu.
Keadaan ini tentu cukup mengganggu. Diantaranya, masalah RUU HIP, RUU BPIP, UU Cipta Kerja, masalah pilkada, praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang semakin meluas, tenaga kerja asing dari Tiongkok, penangkapan para aktivis yang kritis kepada pemerintah, diskriminasi dalam penegakan hukum, bahkan sejumlah usaha pembunuhan terhadap ulama dan dai juga terjadi.
Selain itu, masalah Papua dan Habib Rizieq serta kepulangannya, semua telah menggelinding dan menggumpal menjadi tumpukan masalah yang tidak dikeloa dengan baik. Jika masalah ini tidak terselesaikan, maka dia tentu akan bisa membuat bara api menyala dimana-mana. Bara ini, tentu tidak baik, karena akan membuat bangsa ini semakin terpecah dan menjadi lemah.
Agar bangsa ini kedepan tetap utuh dan bisa berdiri dengan kuat dan kokoh di atas kakinya sendiri, maka dengan mengambil pelajaran dari peristiwa 10 November, telah memperlihatkan kepada kita tentang arti pentingnya persatuan dan kesatuan. Persatuan ini penting bagi tercapainya sebuah kemenangan dan cita-cita. Itu sebabnya, sebagai bangsa yang merdeka hari ini, semua pihak benar-benar dituntut untuk bisa menjaga persatuan dan kesatuan sebagai bangsa. Tujuannya, tentu supaya negeri ini tidak porak poranda. Untuk itu, seluruh komponen bangsa perlu melakukan rekonsiliasi nasional.
Rekonsiliasi ini penting supaya diantara anak bangsa yang sama-sama mencintai negeri ini, ada titik temu. Untuk itu, baik pihak pemerintah maupun elemen masyarakat diharapkan tidak memaksakan sikap dan pandangannya kepada pihak lain. Semua perlu menjadikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai acuan bersama. Dengan acuan bersama ini, polarisasi dan perbedaan pandangan yang ada, tidak semakin meruncing dan memanas.
Semua pihak, tentu mengharapkan di dalam usaha rekonsiliasi nasional ini, masing-masing pihak dapat mengendalikan diri dan mengesampingkan kepentingan pribadi atau kelompok atau partai mereka masing-masing, serta mau mengedepankan kepentingan dan kemaslahatan bersama agar tujuan bangsa ini untuk melindungi dan mencerdaskan rakyat, serta mensejahterakan mereka dalam arti yang sesungguhnya dapat terwujud dan tercapai.
Penulis: Anwar Abbas, Sekjen MUI.