JAKARTA, MENARA62.COM – Rencana pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun depan menuai kritik dari Serikat Usaha Muhammadiyah (SUMU). Kebijakan ini berpotensi menambah beban bagi kalangan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Sekretaris Jenderal SUMU Ghufron Mustaqim meminta agar rencana kebijakan yang efektif mulai tahun 2025 itu dibatalkan. Bila opsi pembatalan tidak diambil, SUMU mendesak pemerintah agar mengimbangi kenaikan tarif PPN dengan sejumlah kebijakan afirmatif yang mendukung daya saing UMKM. Sebab, tegas dia, UMKM adalah tulang punggung perekonomian nasional.
“Kami mengusulkan tiga paket kebijakan afirmasi penguatan UMKM yang bisa dijalankan,” ujar Ghufron Mustaqim, Selasa (19/11/2024).
Pertama, menaikkan ambang batas (threshold) Pengusaha Kena Pajak (PKP) dari pendapatan per tahun Rp 4,8 miliar ke Rp 15 miliar. Hal ini mengacu pada batas atas kriteria Usaha Kecil berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2021.
Sebab, lanjut Ghufron, sudah lebih dari 10 tahun Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Pengusaha Kena Pajak (PKP) belum diperbarui. PMK Nomor 197/PMK.03/2013 mengatur, pengusaha dan atau perusahaan yang memiliki pendapatan atau omset senilai lebih dari Rp 4,8 miliar wajib dikukuhkan sebagai PKP.
Implikasinya, PKP juga akan dikenakan PPN, yang saat ini tarifnya 11 persen dan per Januari 2025 nanti naik menjadi 12 persen. Mereka tidak lagi bisa mengeklaim PPh Final 0,5 persen dari pendapatan, sebagaimana PPh Final UMKM menurut PP Nomor 23/2018.
“PKP dikenakan tarif PPh 22 persen berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2020 Pasal 5 ayat 1,” kata Ghufron.
Kedua, penambahan nominal batas atas Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari yang saat ini sebesar Rp 500 juta ke kisaran Rp 5 miliar hingga Rp 10 miliar per orang. Peningkatan nominal ini berguna untuk mendorong usaha mikro dan kecil agar mampu naik kelas menjadi usaha menengah.
Ghufron menjelaskan, nyaris seluruh atau 99,9 persen UMKM di Tanah Air adalah usaha mikro dan kecil. Hanya 0,1 persen saja yang berupa usaha menengah. Maka, KUR sangat membantu UMKM lantaran bunga atau bagi hasil yang rendah dan dengan underlying asset atau kolateral yang fleksibel.
“Salah satu sumber masalah usaha kecil sehingga tidak bisa bertransformasi menjadi usaha menengah adalah persoalan akses modal,” ucap dia.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 2021 menetapkan, usaha menengah memiliki kriteria antara lain modal usaha sebesar Rp 5 miliar hingga Rp 10 milyar. Pemerintah pun semestinya menaikkan pagu KUR menjadi Rp 5 miliar hingga Rp 10 miliar.
Dengan demikian, Ghufron mengatakan, semakin banyak usaha yang tidak seumur hidup terjebak dalam level usaha mikro dan kecil. Dengan modal dari KUR, UMKM dapat menambah daya saing melalui investasi di teknologi, penguatan sumber daya manusia (SDM), riset dan pengembangan, serta peningkatan modal kerja.
“Ini bisa berdampak pada penyerapan tenaga kerja lebih banyak dan kesejahteraan karyawan meningkat,” kata Ghufron.
Ketiga, kenaikan PPN semestinya diimbangi dengan menurunkan PPh Badan dari 22 persen menjadi 20 persen. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sebenarnya sudah berniat untuk menurunkan PPh Badan tersebut.
“Kami mendukung kebijakan tersebut (menurunkan PPh Badan) dan meminta agar segera diundang-undangkan. Turunnya PPh Badan akan mendorong usaha memiliki neraca yang lebih kuat sehingga akan semakin membesarkan usaha,” tukas Ghufron.
SUMU meyakini, kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen akan berdampak luas bagi perekonomian, terutama sektor UMKM. Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan kebijakan ini diimbangi dengan langkah-langkah konkret, antara lain, tiga poin yang telah disebutkan di atas. (*)