M Din Syamsuddin
Tuduhan terhadap umat Islam terakhir ini sebagai intoleran dan anti kebinekaan sungguh menyakitkan hati. Tidakkah diakui, bahwa jasa dan peran umat Islam sangatlah besar dalam penegakan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan berBineka Tunggal Ika ini.
Sejak masa perlawanan terhadap penjajahan hingga perjuangan menegakkan kemerdekaan. Begitu pula, kehidupan nasional Indonesia yang relatif stabil, dari dulu hingga sekarang adalah karena toleransi tinggi umat Islam yang hidup berdampingan rukun dan damai dengan segenap saudara sebangsa dan setanah air, tanpa memandang Suku, Agama, Ras, dan (Antar) Golongan. Tidak dapat dibayangkan keadaan Indonesia, jika umat Islam Indonesia tidak toleran.
Bahwa Kelompok Umat Islam (yang juga didukung oleh elemen-elemen lain) memrotes penistaan agama adalah karena penistaan itu mengganggu kerukunan dan menggoyahkan kebinekaan. Bahwa mereka menggugat ketidakadilan ekonomi adalah karena itu bertentangan dengan Sila Kelima Pancasila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia“. Bahwa mereka menggugat ketidakadilan hukum adalah karena negara kita adalah “Negara berdasarkan hukum”.
Maka, siapa sebenarnya yang intoleran dan anti kebinekaan? Apakah pihak yang memrotes penistaan terhadap pihak lain karena mengganggu kerukunan, dan menggugat ketidakadilan ekonomi dan hukum, atau justeru pihak yang mendukung pengganggu kerukunan dan anti kebinekaan dengan memasuki wilayah keyakinan orang lain, serta mendukung (atau didukung oleh) para pemilik modal yang karena kekayaannya ingin mendiktekan kehidupan nasional sambil berkecak pinggang atas penderitaan mayoritas rakyat?
Kini saatnya, kita tegakkan kerukunan sejati, bukan kerukunan semu yang mendukung penghinaan terhadap pihak lain, apalagi kerukunan rancu dengann menuduh pihak pemrotes penghinaan terhadap pihak lain sebagai intoleran dan anti kebinekaan.
Saatnya Nalar Bangsa dijernihkan, saatnya Nurani Bangsa diputihkan, dari kecenderungan manipulasi dan pemutarbalikan fakta
KATAKANLAH, JIKA KEBENARAN TIBA, KEBATILAN AKAN SIRNA (QS 17: 81). (M Din Syamsuddin, Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia)