JAKARTA, MENARA62.COM — Selasa (06/08/2019), Pengamat Politik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Andriadi Achmad menjelaskan bahwa sejak tahun 1999 terjadi siklus konflik lima tahunan Golkar seperti mitos “karma” dalam drama Mahabarata. Sebagaimana hukum karma, konflik Golkar sepertinya tidak berkesudahan dan akan terus berlanjut.
“Pada masa transisi reformasi 1998, metamorfosis Golkar dari orpol di masa Orde Baru menjadi parpol menimbulkan perpecahan yaitu Golkar kubu Akbar Tanjung dan Golkar kubu Edi Sudrajat, R. Hartono serta Mbak Tutut yang mendirikan PKPB dan PKPI. Begitu juga tahun 2004Â pasca konvensi Capres Partai Golkar dan Munas II Golkar dengan terpilihnya Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum berujung dengan mundurnya Wiranto yang mendirikan Partai Hanura tahun 2006, diikuti Prabowo mundur dengan mendirikan Partai Gerindra tahun 2008. Kemudian di tahun 2009, pasca Munas III Surya Paloh yang dikalahkan Aburizal Bakrie dalam pemilihan posisi Ketua Umum mengundurkan diri dan mendirikan Partai Nasdem tahun 2012. Masih anyar dalam ingatan kita bagaimana terjadi dualisme kepemimpinan Golkar pasca Munas IV tahun 2014 yaitu Golkar kubu Aburizal Bakrie dan Golkar kubu Agung Laksono. Menjelang Munas V Golkar, mulai menghangat untuk perebutan Ketua Umum antara Airlangga Hartarto dan Bambang Soesatyo,” urai Andriadi Achmad di sela-sela wawancara.
Andriadi Achmad mengajak bernostalgia di masa Orde Lama dan Orde Baru, pada tahun 1962 sekber Golkar didirikan oleh TNI Angkatan Darat yang bertujuan untuk mengimbangi keberadaan PKI pada masa itu sangat kuat. Setelah Orde Baru berkuasa pada tahun 1971 pemilu pertama diikuti 10 peserta pemilu dan dimenangkan Golkar (62,8%), kemudian 1973 terjadi pengelompokkan atau fusi peserta pemilu menjadi 3 yaitu PDI, PPP dan Golkar. Begitu juga pemilu setelah fusi yaitu tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 secara mutlak dimenangkan oleh Golkar. Kekuasaan Golkar dibawah pembinaan Seoharto sebagai Ketua Dewan Pembina sangat kuat dan mengakar.
“Di masa Orde Baru, figuritas Seoharto sebagai Ketua Dewan Pembina cukup kuat sehingga mampu dan menepis keretakan serta perpecahan internal Golkar. Artinya Golkar sangat solid dan kuat. Dalam setiap pemilu Golkar selalu menjadi dominant party,” ungkap Direktur Eksekutif Political Communication Studies dan Research Centre (PolCom SRC)
Menjelang Munas V Partai Golkar tahun 2019 ini, sudah mulai menampakkan keretakan internal partai Golkar yaitu pendukung Airlangga Hartarto dan pendukung Bambang Soesatyo. Seolah fenomena retaknya internal partai Golkar jelang dan pasca setial Munas semakin memberikan makna bahwa figuritas kepemimpinan dalam parpol sangat penting, sebagaimana dalam sejarah figuritas dan tokoh sentral seperti Soekarno (PNI), Mohammad Natsir (Masyumi), Soeharto (Golkar), Amien Rais (PAN), Yusril Ihza Mahendra (PBB), Gus Dur (PKB), SBY (Demokrat), Wiranto (Hanura), Megawati (PDIP), Prabowo (Gerindra), Surya Paloh (Nasdem).
“Tiadanya figur sentral dalam kepemimpinan pasca Soeharto menjadikan salah satu penyebab rentannya perpecahan dan konflik internal Partai Golkar. Kehadiran Akbar Tanjung, Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie dan tokoh lainnya belum mampu menggantikan figuritas Soeharto dalam partai Golkar. Sehingga belum terbantahkan bahwa keretakan Partai Golkar bak Mitos “Karma” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Barangkali Golkar membutuhkan figur sentral yang bisa menyatukan,” tegas Andriadi Achmad menutup wawancara.