Oleh Imam Prasodjo
Sosiolog
Di tengah gejolak emosi, antara gembira dan sedih di kalangan masing-masing kubu dalam Pilkada Jakarta 2017, saya mencoba mengingat kembali situasi yang hampir sama, yang terjadi saat Pilpres 9 Juli 2014. Saat itu, gejolak emosi juga terjadi, walau pun lingkupnya lebih luas. Begitu hasil Quick Count ditunjukkan, suasana ceria terlihat di kalangan kubu pemenang (Jokowi-JK), dan sebaliknya suasana berkabung terlihat di kubu yang belum beruntung (Prabowo-Hatta).
Hari ini, nampaknya situasi terbalik. Kubu Anies-Sandi yang didukung oleh Prabowo dan banyak elit politik yang komposisinya mirip saat Pilpres 2014, terlihat begitu riang. Kegembiraan dan kepedihan seperti sedang digilir oleh Yang Kuasa agar masing-masing pihak mendapat pengalaman sama, pernah sedih dan pernah gembira. Semoga pengalaman ini akan menyumbang terhadap kematangan berpolitik di masing-masing pihak, dan ke depan bisa lebih bijak dalam bersikap, dan tajam dalam ber- “emphaty.”
Dalam kaitan dengan pemilihan demokratis, jabatan pemimpin politik memang bisa bergilir sewaktu-waktu, tergantung bagaimana rakyat kebanyakan memilih. Ini berbeda dengan pemilu di masa Orba yang hasilnya pasti, dapat ditebak siapa yang jadi pemenang, bahkan dapat diketahui jauh jauh hari sebelum pemilu diselenggarakan. Ada yang bilang, “pemilu di masa Orba, walau belum dilangsungkan, hasilnya sudah menjadi sejarah.”
Kali ini, demokrasi kita lebih baik. Walau pun masih banyak kekurangan di sana sini, proses pemilihan pejabat politik yang tengah kita jalani, terlihat semakin mendekati pemilu yang ideal, yaitu pemilu yang di satu sisi prosesnya jelas, transparan, adil, namun di sisi lain hasilnya cenderung “unpredictable,” atau setidaknya tak mudah ditebak karena tak seorang pun tahu persis ke mana suara rakyat kebanyakan akan diarahkan. Survei dan polling memang membantu, namun tetap saja kondisi bisa berubah setiap saat tergantung strategi tiap peserta yang berkompetisi hingga menit menit terakhir.
Betapa pun masih begitu banyak kekurangan dalam berdemokrasi, namun untuk kesekian kali, bangsa ini mendapat pelajaran berharga dalam berdemokrasi. Pilkada DKI kali ini menghadirkan nuansa baru. Ada isu baru yang melibatkan emosi. Ada latihan dan perenungan ketika hadir tafsir keagamaan berbenturan dengan prinsip kebhinneka-tunggal-ikaan. Ada pengerahan massa berjilid. Ada “perang kata-kata” di darat dan di udara. Semua menyatu membangkitkan emosi. Namun di sisi lain, debat terbuka memberi ruang pada tumbuhnya rasionalitas pemilih. Interaksi begitu intensif karena di era digital ini beragam media elektronik sangat berperan. Pilkada DKI seperti menjelma sebagai ajang pertempuran antara rasionalitas dan emosi.
Ada hikmah di baik ini semua. Nampaknya, hadir pula kesadaran bahwa ke depan, perlu cara baru untuk mendorong bekerjanya rasionalitas dalam memilih. Tanpa cara baru, rasionalitas akan dengan mudah tergilas oleh emosi. Selain itu, juga tumbuh kesadaran yang lebih mendalam bahwa ideologi bangsa yang selama ini dianggap telah mapan dan tak tergugat, dalam Pilkada ini ada pihak yang secara terbuka menggugat. Nampaknya akan ada pergulatan yang lebih besar ke depan. Perlu ada langkah-langkah arif dan cerdas dalam menghadapi gejala baru ini agar kita sebagai bangsa tak terjerembab dalam konflik baru.
Karena itu, hasil pilkada DKI kali ini, memang penuh diwarnai emosi. Kegembiraan dan kepedihan adalah suatu keniscayaan yang muncul dalam proses pemilihan demokratis di manapun. Apalagi dalam pemilihan Pilkada ini, partisipasi rakyat relatif tinggi. Bukankah, semakin tinggi derajat keterlibatan rakyat dalam proses pemilihan politik, semakin tinggi dan luas pula luapan emosi yang ditumpahkan dalam menyikapi hasil pemilihan. Tak terbayang seperti apa gejolak hati yang terjadi pada para pendukung inti, tim sukses, dan penyandang dana. Mereka adalah pihak yang paling mengalami benturan emosi dan bisa jadi juga kepentingan karena mereka tak saja telah mengeluarkan tenaga dan fikiran, tetapi juga biaya. Semoga apa yang mereka keluarkan adalah semata-mata dukungan tanpa pamrih yang tak menuntut imbalan apa pun sehingga tak menjadi beban baru. Gubernur baru harus mampu melindungi diri dari beragam potensi konflik kepentingan yang tumbuh dari dalam. Bila tidak, kegembiraan yang dirasakan hari ini akan berubah menjadi kepedihan.
Akhirnya, di tengah gejolak emosi ini, ada baiknya kita sitir pepatah Jawa: “Sing menang ojo umuk, sing kalah ojo ngamuk” (yang menang jangan nyombongkan diri, yang kalah jangan mengamuk). Untuk yang menang, perlu diingatkan bahwa tantangan ke depan masih begitu besar. Janji-janji kampanye yang sebelumnya diucapkan, sebentar lagi akan ditagih untuk direalisasikan. Ingat! Para pemilih dalam pilkada, apalagi para pemilih dan pendukung “emosional,” berpotensi berbalik arah menjadi oposan yang sangat emosional juga bila harapan mereka yang meluap tak terpenuhi.
Untuk pihak yang kalah, pilkada ini bukanlah segala-galanya. Hidup masih harus berjalan. Matahari masih akan terbit dari ufuk Timur dan tenggelam di ufuk Barat. Ke depan, beragam peran alternatif masih terbuka lebar. Bangsa ini masih begitu banyak membutuhkan uluran tangan untuk menyelesaikan beragam masalah. Lagi pula, bukankah matahari juga ada kalanya harus di atas, dan ada kalanya harus di bawah?
Bila kita bisa melihat semua proses ini adalah hal biasa, nampaknya hidup ke depan akan lebih ringan dijalani. Ingat politik bukanlah panglima yang menjadi penentu kebahagiaan hidup. Bukan begitu?