Oleh : Ace Somantri
BANDUNG, MENARA62.COM – Terngiang selalu kata-kata “agent of social change, agent of social control” saat menjadi aktivis jalanan kala masih usia remaja saat itu tercatat sebagai mahasiswa. Gerakan praksis dari kata-kata tersebut diterjemahkan langsung aksi ke jalan menyuarakan aspirasi dan kehendak rakyat. Benar adanya, ketika seorang warga paham akan sistem keadilan sosial namun implementasinya “jauh panggang dari api” perundang-undangan dan kebijakan hanya sebuah tumpukan arsip negara yang nilai gunanya masih ada dalam angan-angan mimpi belaka. Wajar saja kala itu, semangat aksi demonstrasi turun kejalan selalu atraktif dan provokatif. Terik matahari membakar kulit tidak peduli, haus dahaga pun kadang tak dirasa. Merasa happy penuh semangat berapi-api berorasi dengan pengeras suara tangan sambil berjalan. Dibenak dan pikiran pada saat itu, seolah menjadi aspirator dan peduli pada rakyat yang tertindas.
Lantang suara keras menggema ketika yel-yel kata kata-kata kritik dan saran pada pihak-pihak tertentu yang dianggap tidak berkeadilan sosial diranah-ranah publik. Begitulah cara praktis menterjemahkan “social control” dalam pandangan seorang aktivis jalanan. Sebenarnya siapa agent of social control di masyarakat Indonesia? Apakah hanya mahasiswa atau pemuda ? Atau siapa saja yang merasa diri warga negara Indonesia. Selama ini dipahami pada umumnya seolah-olah hal tersebut menjadi fungsi utama mahasiswa saja, padahal sebenarnya semua warga masyarakat memiliki fungsi yang sama tidak dipilah-pilah. Selama setiap individu orang yang bersangkutan baligh dan berakal sehat, maka orang tersebut memiliki tanggung jawab moral berperan untuk melakukan kontrol sosial, baik berhubungan dengan kepentingan individu maupun publik. Hal tersebut senapas dengan ajaran Islam yang mensyari’atkan untuk saling mengingatkan dalam hal kebenaran.
Saat ini diera global, hampir dikatakan sulit menemukan istilah “kaum muda” dan jarang sekali ditemukan dalam narasi-narasi pergerakan dikalangan aktivis. Yang sering diungkap yang semakin populer istilah generasi kaum milenial, Y dan Z serta generasi alfa. Istilah-istilah atau genre bahasa sudah tidak lagi menggunakan idiom-idiom kebahasaan budaya lokal. Melainkan menggunakan bahas media sosial yang dipopulerkan oleh youtuber, tiktoker, dan facebooker yang selalu berselancar 24 jam tanpa henti dan jeda waktu. Putaran waktunya sudah sama persis dengan putaran matahari dan bulan, selama energi listrik arusnya masih nyala, maka diputarannya pun terus ada tidak berhenti pula.
Pergeseran budaya dan life style generasi era digital sangat terlihat jelas, seluruh aktivitas sosial sudah berselancar dalam dunia maya. Suka tidak suka pada masa transisi, social control sebagaimana biasa dilakukan secara manual-konvensional, bersuara lantang dijalanan dengan pengeras suara. Saat ini, karena transisi pergeseran budaya pada generasi old & X menuju kegenerasi Y & Z serta Alfa, kepedulian dalam bentuk sikap kritis nyaris menghilang. Sehingga pemerintah sebagai pengendali kebijakan publik merasa tidak ada yang mengganggu, mereka leluasa berbuat sekehendaknya sehingga wajar saja salah seorang Menko mengatakan budaya korupsi lebih banyak dan meluas dibanding orde baru. Hal itu terjadi karena kontrol sosial sangat lemah, bahkan dapat dikatakan tidak berdaya karena terpedaya dan terhipnotis oleh media sosial yang menggoda setiap saat.
Benarkah tak berdaya kontrol sosial publik pada pemerintah? Sependek pengetahuan yang dapat terlihat sikap kritis masyarakat, khususnya para kelompok terpelajar baik itu akademisi, mahasiswa, aktivis sosial, dan politisi. Mereka semua saat masuk era digital, beberapa tahun belakangan ini terlihat sangat loyo dan tak berdaya. Entah apa faktor dominannya, sepertinya ada pergeseran budaya dari komunikasi verbal ke komunikasi virtual atau digital. Sehingga mengakibatkan sikap kepekaan dan kepeduliannya mengalami pengurangan dan pelemahan yang disebabkan minimnya sentuhan batiniahnya sangat rendah baik kualitas maupun kuantitasnya.
Kualitas pemerintahan semakin hari kian semakin tidak baik, perilaku koruptif di kalangan birokrat merajalela dan kebijakan berpihak pada oligarki. Rakyat hanya menerima sampah dan getahnya, sehingga secara tidak langsung dipaksa tetap sengsara. Kontrol sosial semakin tidak berdaya, sekalipun ada dalam dunia maya seolah tidak ada karena daya presure sangat lemah. Kelemahan daya presure diakibatkan tidak mempengaruhi sistem tatanan sosial dan ekonomi. Sementara jikalau kontrol sosial verbal aksi turun kejalan dengan skala besar, baik jumlah maupun isu yang dinarasikan menarik perhatian publik lebih luas. Termasuk media masa pun ikut terprovokasi, bahkan ikut memprovokasi berharap banyak yang membeli medianya sehingga oplah meningkat. Saat ini, bersikap kritis dalam dunia maya tidak terorganisir dengan masif dan farsial, selain hal tersebut content-contentnya tidak berbobot sehingga kurang menyentuh dan memprovokasi.
Ketidakberdayaan masyarakat saat ini, khususnya dalam hal social control dikarenakan kondisi dan situasi budaya masyarakat yang semakin tidak peduli dan peka terhadap persoalan kehidupan orang lain. Acuh tak acuh menjadi hal lumrah dan biasa dikalangan masyarakat abad digital, terlebih generasi milenial sangat individualistik. Memang persoalan tersebut bukan salah orang tua dan guru, melainkan saat ini benar-benar proses disrupsi berbagai bidang kehidupan. Contoh kecil di depan mata kita semua, saat ada orang meninggal tetangga kita nyaris dipastikan generasi milenial tidak hadir untuk taziyah dan urun rembug membantu proses yang biasa dilakukan umat muslim terhadap tetangganya yang meninggal, menengok teman yang sakit pun secara langsung hampir cenderung tidak dilakukan, meminjamkan peralatan milik pribadi sudah semakin jarang terjadi, dan juga saling bantu lainnya sekira tidak ada feedback pada dirinya cenderung tidak diperbuat. Hal itu semua gejala umum terjadi sejak saat era global masuk dalam pusaran kehidupan manusia, yang konon kabarnya manusia modern. Apalagi hal-hal yang dianggap mengancam eksistensi hidupnya, sudah dipastikan pembiaran dan abai terhadap orang lain pasti terjadi.
Sehingga jauh untuk social control bagi generasi milenial terhadap pemerintah, mereka sibuk dengan dirinya sendiri berusaha tanpa bantuan orang lain. Tragisnya manakala menghadapi persolaan sangat sulit karena keyakinan diri tidak mau membebani orang lain, sekalipun keluarga akhirnya jalan pintas yang melanggar ajaran agama pun dilabrak. Bahkan sudah mulai ada style bunuh diri untuk mengakhiri hidupnya saat masalah tidak kunjung selesai, naudzubillahi mindzalik. Berharap dengan sepenuhnya meminta dan memohon kepada Allah SWT, bahwasanya fenomena alam semesta dengan prilaku manusia yang kian hari semakin individualistik. Pengaruh perangkat lunak dunia digital, masyarakat saat ini jauh memiliki sikap kritis kepada pemerintah atau negara, peduli pada sesama saja sudah terus bergeser pada budaya egoisme merasa sudah diri tak butuh bantuan orang lain. Ketidakberdayaan sikap kritis saat ini menjadi momentum pengambilalihan kekuasaan negara oleh pihak-pihak tertentu melalui sistem politik oligarki yang memanfaatkan situasi sosial yang semakin tidak peduli pada dunia kebangsaan, kenegaraan dan kerakyatan.
Sikap peduli dan peka pada sesama bagian ajaran Islam yang seharusnya menjadi salah satu kunci membangun ideologi beragama bagi manusia untuk bertahan hidup tetap selamat dunia dan akhirat. Hidup orang lain, hidup kita juga. Kematian orang lain, kematian kita juga. Kita semua hidup dan mati, berasal dan kembali, dari dan kepada Tuhan yang sama yaitu Allah Subhanahu wata’la. Wallahu’alam.
Bandung, Mei 2023