BANDUNG, MENARA62.COM — Dosen Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UM Bandung Sopaat Rahmat Selamet menegaskan bahwa krisis ekologis yang melanda dunia saat ini berakar dari hilangnya kesadaran manusia terhadap jati dirinya sebagai bagian dari alam.
Ia menjelaskan bahwa Al-Quran telah banyak menampilkan tanda-tanda kebesaran Tuhan melalui penciptaan langit, bumi, serta pergantian siang dan malam, yang seharusnya menjadi landasan spiritual bagi umat manusia untuk membangun etika ekologis yang kokoh.
Dalam pemaparannya pada Gerakan Subuh Mengaji Aisyiyah Jawa Barat, Senin (08/12/2025), Sopaat menekankan bahwa Islam tidak memandang manusia sebagai penguasa absolut atas bumi, tetapi khalifah yang diberi amanah untuk memelihara, mengayomi, dan menjaga keberlanjutan kehidupan. Ia mengutip QS Ar-Rum ayat 41 yang menyebutkan bahwa kerusakan di darat dan laut adalah akibat ulah manusia sendiri dan menjadi peringatan agar mereka kembali kepada jalan kebenaran.
Sopaat juga menyoroti bahwa perspektif ekologi dalam Islam tidak hanya bersifat normatif, tetapi sudah lama menjadi bagian dari tradisi intelektual Islam. Ia mengutip pandangan Imam Al-Ghazali yang menggambarkan manusia sebagai mikrokosmos yang merefleksikan keseluruhan alam semesta.
”Dalam pandangan tersebut, struktur tubuh manusia disamakan dengan unsur-unsur alam, mulai dari tulang yang dianalogikan sebagai gunung hingga rambut yang diibaratkan sebagai tumbuhan di permukaan bumi,” ujar sejarawan Muhammadiyah ini.
Menurutnya, kesadaran ekologis harus diperkuat tidak hanya melalui ajaran agama, tetapi melalui kearifan lokal Nusantara, termasuk budaya Sunda. Dalam tradisi lokal, manusia diyakini tersusun dari unsur tanah, air, api, dan udara, yang menunjukkan adanya keterikatan hakiki antara manusia dan alam. Nilai-nilai seperti papat kalima pancer menegaskan bahwa inti manusia adalah ruh yang ditiupkan Tuhan, sehingga ia harus hidup selaras dengan ciptaan lainnya.
Lebih jauh, Sopaat menjelaskan bahwa masyarakat Sunda memiliki tradisi ekologis yang sangat terstruktur dan diwariskan turun-temurun. Konsep seperti leuweung titipan, leuweung tutupan, dan leuweung garapan menggambarkan pembagian kawasan hutan berdasarkan fungsi sakral, cadangan, dan pemanfaatan. Sistem ini, menurut Sopaat, telah terbukti menjaga kelestarian alam jauh sebelum hadirnya pendekatan modern yang sering kali berorientasi pada eksploitasi.
”Kerusakan lingkungan masa kini tidak bisa dilepaskan dari cara pandang antroposentris dan kapitalistik yang menempatkan alam hanya sebagai objek pemanfaatan. Sikap seperti ini bertentangan dengan etika Islam yang mengajarkan kasih sayang kepada seluruh makhluk. Hadis Nabi yang menyerukan agar manusia menyayangi penghuni bumi merupakan fondasi moral untuk membangun ekologi yang berkeadaban,” imbuh Sopaat.
Dalam konteks sejarah Sunda, Sopaat menilai bahwa nilai-nilai ekologis dan spiritual ini telah tercermin sejak masa kerajaan-kerajaan awal seperti Salakanagara yang berbasis pertanian serta Tarumanagara yang dipimpin Raja Purnawarman pada abad ke-5. Pembangunan saluran Ci-Baghasasi dan tradisi pengorbanan ribuan ekor sapi menunjukkan adanya sistem nilai dan keyakinan yang memadukan keagamaan dan pengelolaan alam. Bukti arkeologis seperti Prasasti Batu Tulis dan Prasasti Ciaruteun menjadi saksi kuatnya peradaban tersebut.
Menutup paparannya, Sopaat mengajak masyarakat untuk menjadikan kesadaran ekologis sebagai bagian dari ibadah sehari-hari. Ia mengingatkan bahwa ketika manusia lupa bahwa dirinya adalah bagian dari alam, maka saat itulah kerusakan bermula. “Mari kita memperbaiki hubungan dengan alam sebagai bentuk taubat ekologis. Kerusakan terjadi karena tangan kita, dan memperbaikinya adalah tanggung jawab kita bersama,” ujarnya menegaskan.(*)
