33.3 C
Jakarta

Suara Angin di Kota Sevilla

Baca Juga:

Sinar sang mentari cukup terang pada suatu pagi yang tenang di bulan Juli. Udara semilir yang berhembus melalui kisi-kisi jendela, membawa aroma rumput kering yang tersiram air.

Aku bangun lebih awal dari biasanya. Jam menunjukkan pukul lima pagi. Suasana di sekitar rumah masih hening, hanya terdengar suara gonggongan anjing yang cukup jauh. Aku menyusuri dapur, menyiapkan sarapan sederhana—roti bakar dan telur mata sapi—seraya menelan beberapa pil yang dokter berikan beberapa minggu yang lalu.

Sebelum orang-orang mulai ramai di luar, aku menyelesaikan mandi cepat dan mengenakan kemeja lengan pendek berwarna putih, celana pendek khaki, dan sepatu yang nyaman. Pintu utama rumah kubuka lebar dan kuganjal dengan patung lumba-lumba kayu yang dibeli oleh Ana, istriku, saat kami berkunjung ke pasar seni di Ronda. Hanya pintu kasa anti-nyamuk yang tertinggal, membiarkan udara pagi mengalir masuk.

Aku sudah terbiasa berjalan kaki menuju pasar yang terletak tidak jauh dari rumah. Suasanya memang nyaman dan menyenangkan. Jalanan yang berbatu dan penuh lubang memberi rasa dan daya tarik tersendiri. Namun, pagi itu, sebuah suara menggeram agak kencang mengagetkanku. Suara geraman itu datang dari balik pagar rumah dengan pagar hijau yang terjaga ketat. Tiba-tiba muncul wajah seekor anjing Labrador hitam dan langsung mengambil posisi seperti mengancam. Terkejut, aku segera berlari kecil menuju pohon asam besar di ujung jalan. Aku berhenti sejenak di bawah naungannya, menyeka keringat di dahi sambil meredakan degub jantung yang bergerak cepat.

Syukurlah, Labrador itu sepertinya tak mengejarku. Namun, tak urung aku tunggang langgang juga dibuatnya. Dasar anjing…

Suara hempasan air laut di kejauhan terdengar nyaring. Pantai mulai terlihat di kejauhan, bersama aroma khas sarapan yang tercium dari para pedagang yang membakar kelapa di ujung jalan. Aku melanjutkan perjalanan dengan santai hingga sampai di teras rumah seorang tukang kayu yang menjual meja kayu.

“¡Buenos días, Carlos!” sapaku.

“¡Buenos días! Apa yang bisa saya bantu hari ini?”

“Saya ingin membeli meja dengan kaki sepanjang empat puluh sentimeter. Apakah ada?”

“Claro, sudah ada. Saya akan mengantarnya nanti sore,” jawab Carlos sambil tersenyum, menunjukkan beberapa meja yang sudah selesai dirakit. Dia memberiku sebuah asbak bambu sebagai bonus.

Dengan kantung plastik yang berisi barang yang kubeli, aku berjalan menuju pasar sambil menikmati suasana pagi yang cerah. Aku membeli celana pendek baru dan melanjutkan perjalanan pulang melalui gang kecil untuk menghindari anjing Labrador Hitam yang tadi mengagetkanku saat akan berangkat ke pasar tadi.

Sesampainya di rumah, Ana yang sedang sibuk dengan pekerjaannya, tersenyum menyambutku. “Meja lagi?” tanyanya sambil mengangkat alis. Tatapannya curiga dan setengah menuduh.

Aku hanya tersenyum dan mengangguk. “Meja kecil untuk teras. Dan celana ini untuk minggu depan. Itu hadiah kecil dari aku untuk ulang tahunku hehehe.”

Aku pun masuk ke kamar tanpa menunggu kata-kata lagi. Entahlah, yang jelas aku merasa seperti baru bangun pagi lagi. Aku merasa sepertinya, aku bangun lebih awal dari biasanya.

Hari itu sudah cukup panas meskipun matahari baru saja terbit. Pagi ini, aku sudah mempersiapkan pakaian dengan cepat. Kemeja merah, celana pendek khaki, dan sepatu nyaman. Aku menyelesaikan sarapan dan minum obat seperti biasa, lalu buru-buru mandi. Ana masih tidur, kelelahan setelah bekerja keras semalaman.

Ketika aku keluar rumah, angin pagi yang segar menyapaku. Namun, kembali, aku segera dikejutkan oleh suara gonggongan anjing yang tidak jauh dari rumah yang terletak di seberang jalan. Pemilik Labrador Hitam. Tentu aku nggak akan leewat sana lagi. Aku berlari lagi ke bawah pohon asam untuk berlindung sebentar. Udara pantai yang kental dengan aroma bakaran sabut kelapa membuatku sedikit tenang. Aku melanjutkan langkahku menuju rumah tukang kayu.

“¡Buenos días, Carlos!” seruku.

“¡Buenos días! Meja, ya?” jawab Carlos dengan senyum lebar.

“Apa ada dua meja dengan kaki pendek?”

“Ya, sudah ada. Saya akan kirim sore ini,” katanya lagi. Semua terasa biasa saja. Sama seperti sebelumnya, dia memberiku asbak bambu, meskipun aku sudah tidak merokok lagi. Tapi yang jelas, aku merasa ini kejadian terlalu cepat. Apa sebenarnya yang sedang terjadi. Ada apa ini.

Sore harinya, saat aku kembali ke rumah, Ana langsung menatap dua meja yang baru saja diantar. “Meja lagi? Kenapa harus meja?” apa tidak ada yang lain.

Aku hanya tersenyum dan menjawab, “Ini hadiah untukku.” Woo, sepertinya ada dua kejadian yang sama. Aku pernah melakukan ini, dan mengatakan ini. Membeli meja. Tapi dimana meja yang kubeli itu diletakkan. Tak ada jejaknya sama sekali.

Aku pun langsung masuk ke kamar, dan anehnya seperti mengalami cerita berulang lagi. Aku merasa seperti baru bangun tidur. Pahal aku baru masuk ke kamar beberapa menit yang lalu. “Kok aku seperti pernah mengalami sesuatu yang sama seperti ini?” kataku dalam hati dengan keheranan.

Tapi yang jelas, aku baru bangun pagi. Sambil mengucek kedua mata dengan kedua tanganku, aku bangkit dari ranjang.

Aku bangun pagi ini penuh dengan perasaan aneh. Tapi aku merasakan sangat bersemangat. Di kepala sudah terbayang bahwa aku ingin merayakan sesuatu. Hari ini aku merayakan ulang tahun. “Ya, aku ingin membelikan hadiah untuk diriku sendiri.”

Ah, padahal itu sudah pernah kulakukan sebelumnya. Dua kali malah. Ah, daripada bingung, aku pun memilih menjalaninya saja hari ini. Sebuah hadiah kecil untuk diriku sendiri. Aku memilih celana pendek baru dan sepatu biru bergaris merah yang mengingatkanku pada bendera Spanyol.

Namun, pagi itu, sesuatu yang berbeda terjadi. Ketika aku keluar rumah, Ana melihatku dan bertanya, “Celana itu lagi? Apa tidak ada yang lain?” tanyanya. Sebuah lontaran pertanyaan yang percuma saja, karena aku pun segera berlalu meninggalkan tatapan tajam Ana. Sebuah tatapan yang akan kudapati lagi ketika aku pulang membeli sebuah meja kayu kecil lagi.

“Ah, aku sepertinya sudah tahu apa yang akan terjadi.”

Aku mengangguk dengan tenang, namun ada sesuatu yang mengganjal. Kenapa aku merasa begitu terobsesi dengan membeli meja dan celana yang sama. Tapi yang jelas, aku akan menghindari jalan di sebelah kiri itu. Karena rumah besar itu rupanya baru membeli sebuah Labrador Hitam yang galak. Aku pernah terpaksa berlari kalang kabut dikejar anjing itu.

Tapi anehnya, aku mengalami itu ketika akan membeli meja kayu kecil di hari ulang tahunku. Padahal, hari itu haru akan kulalui sekarang. Dan sebelumnya, aku tak pernah tahu kalau rumah besar itu mempunyai anjing galak Labrador Hitam. Selama ini, rumah itu setengah danau yang tanpa suara. Penghuninya, sepasang suami istri yang anak-anaknya sudah meninggalkan rumah itu sejak beberapa tahun yang lalu.

Aku pun akan mengalami masa seperti itu. Pikirku dalam hati. Ah sudahlah, kini aku akan pergi ke tukang kayu dan membawa pulang sebuah meja kecil. Tapi kali ini aku merasa takut, kalau akan berakhir dengan bangun tidur di pagi hari.

Itu sebabnya, kuurungkan langkahku menuju tukang kayu untuk membeli meja kecil. Aku pun ke pasar lokal yang menjual sayuran dan buah. Kini dalam perjalanan pulang, aku sudah menenteng buah-buahan dan sayuran yang akan kumasak untuk sarapan.

Aku pulang sendiri ke rumah, tak ada tatapan Ana. Tak ada juga sapaan darinya. Aku memasukkan belanjaanku ke dapur dan segera memasak. Sampai semua selesai kumasak dan kuletakkan di meja, tak ada suara seorang pun.

Aku menatap sebuah foto pusara. Ohhh aku ingat sekarang, bukankah aku sudah tinggal sendirian di rumah yang sepi tanpa ada seorang pun. Tiba-tiba badanku terasa amat berat, terduduk di kursi kayu dan sebuah meja kecil yang kubeli beberapa tahun lalu dari tukang kayu di ujung jalan sana.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!