Oleh: Ma’mun Murod Al-Barbasy
Penolakan kebijakan Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah semakin marak dan liar. Marak, tergambar dari gaduhnya komentar yang berkembang, terutama di media sosial. Liar, karena yang menolak Permendikbud seperti sudah kehilangan nalar sehat. Ada komen-komen di medsos (FB) yang mendoakan agar Mendikbud segera meninggal (mati), paling lama 40 hari lagi. Bahkan ada pesan yang masuk ke WA Mendikbud yang mengajak “carok”.
Masifnya penolakan ini, sepertinya tak lepas dari “provokasi” Surat Instruksi PBNU terutama poin 3 yang menyebut bahwa sebagai upaya penolakan terhadap Permendikbud, dapat: “Melakukan upaya-upaya lain di masing-masing wilayah untuk menolak Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah dan kebijakan yang merugikan pendidikan Madrasah Diniyah demi menjaga harga diri dan martabat Nahdlatul Ulama”.
Saya meyakini, instruksi PBNU ini tidak akan diterima secara bulat, tapi akan disikapi secara lonjong dan beragam di lingkungan jamaah (Nahdliyyin) sendiri. Pasalnya di lingkungan NU sendiri sudah banyak sekolah yang dikelola dengan model lima hari sekolah. Sekolah-sekolah model ini tentu tak mempunyai kepentingan dengan Permendikbud, sebab tanpa Permendikbud pun sekolah-sekolah model ini sudah melaksanakan “pesan” dari Permendikbud.
Surat Instruksi PBNU juga menunjukan inkonsistensi sikap PBNU sendiri. Kalau PBNU ingin disebut konsisten, harusnya dikeluarkan juga Surat Instruksi berikutnya yang berisi instruksi agar sekolah-sekolah milik NU atau yang berafiliasi ke NU yang selama ini telah menerapkan model lima hari sekolah atau full day school atau sebutan lainnya yang sejenis agar kembali ke “model lama” sekolah enam hari. Karena kalau tidak, maka sekolah-sekolah yang dikelola NU pun sejatinya telah turut andil dalam menggerus atau mematikan Madin. Kalau tidak ada Surat Instruksi lanjutan, menunjukkan bahwa PBNU itu mau menang dan enaknya sendiri. Seolah negara ini hanya milik NU (lebih tepatnya baca PBNU). PBNU hanya akan bereaksi kalau ada kebijakan yang merugikann dirinya. Sebaliknya, cenderung abai kalau ada kebijakan yang merugikan pihak atau kelompok lain, salah satunya seperti tergambar dalam menyikapi “pembantaian” terhadap orang-orang yang baru diduga teroris tanpa melalui proses hukum. Praktis PBNU tak menunjukkan sikap empati sedikit pun, yang ada malah kecenderungan kuat untuk menyalahkan korban “pembantaian”.
Pesan penolakan terhadap Permendikbud sendiri sebagaimana tertuang dalam Surat Instruksi PBNU semata karena Permendikbud dinilai akan menggerus dan mematikan Madin. Terhadap kekhawatiran ini, Permendikbud sebenarnya sudah sangat idzhar menjelaskan dan membantah kekhawatiran tersebut, seperti tertuang dalam Pasal 5 ayat (6): “Kegiatan ekstrakulikuler sebagaimana dimaksud pada ayat (5) termasuk kegiatan krida, karya ilmiah, latihan olah-bakat/olah-minat, dan keagamaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Ayat (7) “Kegiatan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) meliputi aktivitas keagamaan meliputi MADRASAH DINIYAH, PESANTREN KILAT, BACA TULIS AL-QUR’AN (sengaja saya besarkan) dan kitab suci lainnya.”
Selain itu, Mendikbud sendiri dalam berbagai kesempatan, termasuk ketika berkunjung ke PBNU, MUI, termasuk ketika menerima PP Maarif NU, sudah menjelaskan sejelas-jelasnya bahwa keluarnya Permendikbud ini tidak mempunyai niatan secuil pun untuk mematikan Madin. Yang ada justru akan memperkuat, mensinergikan antara Sekokah Dasar (SD) dengan Madin. Mendikbud bahkan membayangkan, dengan Permendikbud ini di kampung-kampung akan tumbuh Madin-Madin hasil sinergi SD dan Madin, di mana dengan kebijakan lima hari sekolah, siswa SD dengan sendirinya akan “diwajibkan” bersekolah di Madin.
Kalau persoalannya sekadar masalah kurangnya sosialisasi, maka setelah mendapat sosialisasi atau penjelasan, terlebih penjelasan langsung dari Mendikbud, mestinya persoalannya menjadi selesai. Tapi ketika penjelasan apapun yang menegaskan bahwa Permendikbud tidak akan memberangus Madin sudah dilakukan, tapi tetap saja menolak, rasanya sulit untuk menyebut bahwa sikap resmi penolakan PBNU (dan juga PKB) tak ada kaitannya dengan persoalan politik.
Saya melihat, ada kaitan erat penolakan PBNU atas Permendikbud dengan politik. Sederhana saja mengaitkannya. Dampak polarisasi dukungan pada Muktamar Jombang 2015 masih terasa hingga saat ini, terutama di Jawa Timur. Bahkan, kabarnya di beberapa daerah NU di Jatim masih ada penolakan terhadap Ketua Tanfidziyah KH Said Aqiel Siradj. Terakhir, pelaksanaan Istigohtsah Akbar di Stadion Delta Sidoarjo beberapa waktu yang lalu, kabarnya juga sengaja hanya mengundang Rais Am PBNU KH Makruf Amin, namun tidak mengundang KH Said Aqiel Siradj.
Nah, penolakan atas Permendikbud ini sepertinya dijadikan sebagai momentum oleh PBNU (lebih tepatnya baca KH Said Aqiel Siradj) untuk mencari simpati di kalangan warga Nahdliyin, terlebih mereka yang masih kecewa dengan hasil Muktamar Jombang. Selain itu, setahun ke depan, akan berlangsung Pilkada, termasuk Pemilihan Gubernur di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dua provinsi yang menjadi “daerah pertahanan” NU. Bisa jadi, penolakan atas Permendikbud ini oleh PBNU dan PKB juga dimaksudkan untuk menciptakan dan memperkuat “kohesi politik” warga NU. Apalagi secara jam’iyah (organisatoris) relasi NU dan PKB saat ini tampak begitu mesra. Bahkan ada guyonan di lingkup Nahdliyin sendiri (tentu tidak penting mengetahui Nahdliyin dari faksi mana): “saat ini PBNU itu ya PKB dan PKB itu ya PBNU”. Mungkin guyonan ini berangkat dari kenyataan adanya beberapa elite PKB yang menduduki jabatan-jabatan strategis di PBNU. Sebut saja misalnya Helmy Faishal Zaini, yang saat ini menjadi anggota DPR RI sekaligus juga menjabat Sekretaris Jenderal PBNU.
Rasanya, sejak Muktamar Situbondo 1984, baru terjadi kali ini terjadi di mana jabatan Sekretaris Jenderal dijabat oleh politisi. Saya sendiri tidak tahu, apakah rangkap jabatan ini sejalan atau tidak dengan putusan Muktamar Situbondo yang menandai NU kembali ke Khittah 1926, termasuk aturan PBNU Nomor 015/A.II.04.d/III/2005 terkait dengan rangkap jabatan.
“Kemesraan jam’iyah” ini tentu berdampak politik. Dampak ini bagi PKB tentu akan banyak membawa “maslahat politik”. Namun bagi NU, tidak selalu demikian. Bisa jadi malah sebaliknya, lebih banyak membawa “mafsadat politik”. Harus diingat, bahwa keinginan kuat NU untuk kembali ke Khittah, yang dimulai sejak Muktamar Semarang 1979 dan resmi diputuskan pada Muktamar 1984, sebenarnya lebih karena banyaknya mafsadat yang mendera NU ketika menjadi partai politik atau berhimpitan sangat dekat dengan partai politik. Seperti diketahui, pada Muktamar Palembang 1952 sampai 1973, NU pernah berreinkarnasi menjadi partai politik, kemudian berfusi ke dalam PPP sampai dengan kembali ke Khittah 1984.
Karena dua hal di atas (mencari simpati dan memperkuat “kohesi politik”), maka bisa dipahami ketika PBNU dan PKB begitu keras menolak Permendikbud. Diberi penjelasan apapun, Permendikbud tak akan memberangus Madin pun tak juga berusaha mengerti. Di sinilah terjadi simbiosis mutualisme antara PBNU dan PKB. PBNU membutuhkan PKB, dan PKB juga membutuhkan PBNU.
Saya tidak yakin, kalau Permendikbud ini muncul ketika NU masih dinahkodai oleh KH Hasyim Muzadi akan muncul kegaduhan dan penolakan yang begitu berlebihan di lingkup NU. (Ma’mun Murod Al-Barbasy, AlumniPesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang dan Pemerhati Masalah Muhammadiyah dan NU)