DEN HAAG, MENARA62.COM — Ikon hak asasi manusia (HAM) dan pendekar demokrasi asal Myanmar, Aung San Suu Kyi, akhirnya seperti kehilangan nurani saat tampil di Mahkamah Internasional, Den Haag, Belanda, Rabu (11/12/2019). Peraih Nobel Perdamaian 1991 ini mendustakan berbagai bukti nyata pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pengusiran minoritas Muslim Rohingya oleh junta militer Myanmar di negara bagian Rakhine.
“Kami menyaksikan salah satu momen sejarah yang mengejutkan: Suu Kyi menyangkal dan menolak temuan genosida Rohingya yang kredibel oleh Myanmar,” ujar Maung Zarni, seorang sarjana, aktivis, dan anggota mayoritas umat Buddha di Myanmar yang berasal dari keluarga militer.
“Sebagai seorang Burma, pada saat yang sama saya sangat malu dan marah dengan apa yang saya dengar (dari Suu Kyi) – (yaitu) kebohongan dan tipuan,” imbuh Zarni seperti dikutip Al Jazeera.
Republik Gambia, atas dukungan Organisasi Kerjasama Islam (OKI), mengajukan gugatan kasus penindasan Muslim Rohingya tersebut ke Mahkamah Internasional. Negara kecil di Afrika Barat itu menuduh Myanmar melanggar Konvensi Genosida 1948.
Tapi Suu Kyi, yang pernah menjalani tahanan rumah selama 15 tahun oleh junta militer Myanmar, menepis tuduhan itu dengan enteng. “Gambia telah menempatkan gambaran yang tidak lengkap dan menyesatkan tentang situasi faktual di negara bagian Rakhine,” kata Suu Kyi.
Menolak Hipotesa Genosida
Walau pun perempuan 74 tahun itu menyiratkan pengakuan telah terjadinya intimidasi terhadap Muslim Rohingya, tetapi dia menolak itu dijadikan satu-satunya hipotesa adanya niat genosidal dari rezim Myanmar. “Mungkinkah ada niat genosida di pihak negara yang secara aktif menginvestigasi, menuntut, dan menghukum tentara dan perwira yang dituduh melakukan kesalahan?” ujar Suu Kyi, balik bertanya.
Dia mengakui penderitaan minoritas Rohingya tetapi situasinya “kompleks”. Tentara Myanmar, menurutnya, mungkin telah menggunakan “kekuatan yang tidak proporsional”, tetapi “itu tidak membuktikan bahwa pihaknya berusaha untuk memusnahkan kelompok minoritas”.
Suu Kyi berulang kali menyebut tindakan keras berdarah pada 2017 terhadap Muslim Rohingya sebagai “konflik internal”. Lalu, militer Myanmar merespons serangan oleh “militan” Rohingya dan kelompok-kelompok bersenjata lokal, seperti Pasukan Keselamatan Arakan Rohingya (ARSA).
Sebelumnya, Selasa (10/12/2019), Suu Kyi mendengarkan dengan “darah dingin” ketika pengacara Gambia merinci kesaksian nyata tentang penderitaan Rohingya di tangan pasukan keamanan Myanmar, termasuk pemerkosaan, penyiksaan dan pembunuhan geng.
“Sangat penting untuk melihat dia harus duduk beberapa senti dari orang-orang yang menggambarkan — dalam detail yang sangat menyakitkan — semua kejahatan mengerikan militer Burma (Myanmar),” kata Brad Adams, aktivis HAM yang berbasis di New York, kepada Al Jazeera.
Para hakim Mahkamah Internasional mendengarkan tahap pertama persidagan dari kasus ini sampai Kamis (12/12/2019). Gambia menuntut putusan sela — yang setara dengan perintah penahanan — terhadap Myanmar untuk melindungi populasi Rohingya sampai kasus ini didengar secara penuh.
Gambia berpendapat bahwa itu adalah tugas setiap negara di bawah Konvensi 1948 untuk mencegah genosida terjadi. Langkah ini mendapat dukungan politik dari OKI serta beberapa negara Barat termasuk Kanada dan Belanda.
Seperti diketahui, lebih dari 730.000 Muslim Rohingya melarikan diri dari Myanmar setelah tindakan keras militer di negara bagian Rakhine barat pada Agustus 2017. Sebagian besar sekarang tinggal di kamp-kamp pengungsi yang padat di Bangladesh.
Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) juga telah mengesahkan penyelidikan atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan terhadap Rohingya. DI Argentina pun dilakukan pengaduan pidana genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dengan prinsip yurisdiksi universal.