”Anda telah memasuki zona pertahanan udara kami. Berikan identitas Anda”.
Itulah peringatan dari pilot pesawat tempur Tiongkok. Kepada pesawat asing entah jenis apa. Rupanya tidak ada liburan tahun baru di udara. Saling mematai terus terjadi. Pun di suasana tahun baru 2019.
Pesawat asing itu tidak merespon. Hanya menyingkir.
Tidak sampai seperti yang terjadi di laut. Saat kapal perang Tiongkok hampir bersenggolan dengan kapal perang Amerika Serikat. Di laut china Selatan. Akhir tahun lalu.
Tiongkok sekarang memang sudah mengembangkan pesawat tempur generasi kelima. Setara dengan F-32. Pesawat termodernnya Amerika.
Tahun lalu Tiongkok sudah memproduksi 100 buah. Akan bertambah 100 setiap tahunnya. Dari pabriknya yang tersembunyi di wilayah Sichuan. Jauh di pedalaman wilayah barat negara.
Menurut Tiongkok, AS kini memiliki 187 pesawat F-32. Dan masih akan bertambah. Karena itu Tiongkok akan menambah terus J-20 nya. Sampai 300 buah.
Tiongkok juga lagi agresif mencari pilot baru. Lulusan SMA terbaik. Yang terjaring akan dikuliahkan di universitas terbaik. Sambil dilatih jadi pilot pesawat tempur J-20.
Tiongkok juga sudah membuat sendiri kapal induknya. Kapal itu, bisa didarati pesawat-pesawat tempur. Tentu, kapal ini disiapkan untuk mengimbangi kapal induk Amerika.
Di awal tahun baru ini Presiden Xi Jinping bikin pidato keras. ”Sudah saatnya Taiwan menjadi satu dengan Tiongkok. Dalam kerangka satu negara dua sistem”, ujar Xi Jinping.
Pidato nasional itu menandai 40 tahun berhentinya serangan Tiongkok ke Taiwan.
Belum pernah ada pidato sekeras itu selama 40 tahun terakhir. Namun, hanya beberapa menit kemudian Presiden Taiwan, Tsai Ing-Wen bereaksi. Seperti petinju. Langsung menolak isi pidato Xi itu.
Dua hari kemudian dia berubah. Menjadi bermain silat. ”Kami siap bicara soal hubungan dua pihak,” katanya. Bukan berarti Ing-Wen menerima tawaran Xi. Tapi sikap menolaknya tidak konfrontatif lagi. Mungkin menyadari posisi politiknya kini tidak sekuat tahun lalu. Partainya, yang pro kemerdekaan, kalah telak.
Tiongkok memang menganggap Taiwan adalah salah satu provinsinya.
Sampai tahun 1979, Tiongkok masih selalu menembaki Taiwan. Tiap hari. Menggunakan senjata berat. Pesenjataan itu ditempatkan di pantai Fujian. Lokasinya langsung menghadap ke Taiwan. Namun, lokasi yang tiap hari ditembaki itu adalah pulau kosong. Sengaja dikosongkan oleh Taiwan. Letaknya jauh sekali dari pulau Taiwan, namun sangat dekat dengan daratan Tiongkok.
Kalau kita lagi di kota Amoy (Xiamen) kita bisa melihat pulau itu. Samar-samar. Kalau udara lagi cerah.
Justru pulau itu tidak bisa dilihat dari Taiwan. Jauh sekali. Satu malam pakai kapal.
Tiongkok sendiri sengaja memilih menembaki pulau kosong. Agar tidak mengenai manusia. Apalagi manusia Taiwan. Sesama manusia Tionghoa.
Padahal, kalau mau serius, Tiongkok bisa menembak langsung kota Kaoshiong. Kota terbesar kedua di Taiwan selatan.
Penembakan harian itu memang hanya pura-pura. Hanya simbolis: bahwa Tiongkok masih terus dalam keadaan perang sipil.
Perang sipil itu dulunya terjadi di seluruh Tiongkok. Tahun 1949. Antara Komunis (Gong Chang Dang) dengan Nasionalis (Guo Ming Dang).
Kian lama Komunis menang. Dipimpin Mao Zedong. Nasionalis terdesak. Dipimpin Jendral Chiang Kai-Shek. Mundur ke pertahanan terakhir: kota Chongqing. Di tengah Tiongkok.
Pertahanan terakhir itu pun diserbu. Nasionalis lari ke pulau Taiwan. Tetap di bawah pimpinan Jenderal Chiang Kai-Shek. Mendirikan negara Taiwan.
Pengejaran terhadang laut. Komunis belum punya armada laut. Armada kapal yang bisa mengejar jendralnya sampai Taiwan belum dimiliki.
Itu sebabnya, yang bisa dilakukan hanyalah menembakinya terus dari daratan Fujian. Ke sasaran pulau terdekat: pulau kosong itu. Yang dikosongkan itu.
Penembakan harian itu tidak berpengaruh. Kian tahun, Taiwan kian eksis sebagai negara. Ekonominya juga kian maju. Sangat sukses. Jadi idola baru. Dikelompokkan dalam tiga macan baru Asia: Korea Selatan, Singapura dan Taiwan.
Tiga-tiganya menjadi model baru untuk membangun ekonomi. Termasuk teori ‘memajukan ekonomi jangan melalui demokrasi’.
Setelah ekonominya sangat maju, barulah lahir demokrasi. Di Korea Selatan. Dan di Taiwan. Demokrasi murni. Dan berhasil.
Muncullah teori baru: demokrasi akan lahir sendiri kalau ekonomi rakyatnya maju. Atau teori lain: demokrasi akan berhasil kalau rakyatnya sudah maju.
Inti teori itu: majukan dulu ekonomi. Baru lahirkan demokrasi. Dua-duanya berhasil. Ekonominya tetap maju. Saat demokrasinya juga berkembang matang.
Korea Selatan dan Taiwan. Jadi laboratorium hidup untuk kemajuan ekonomi dan demokrasi. Tinggal Singapura yang masih belum berani memulai berdemokrasi.
Semaju apa pun, Tiongkok tetap menganggap Taiwan adalah bagian dari negaranya. Salah satu propinsinya. Hanya waktu itu, belum punya kemampuan mengejar nasionalis sampai di sana.
Tiongkok sendiri lantas berubah. Lebih fokus pada pembangunan ekonomi. Sejak Deng Xiaoping tampil memimpin negara. Di tahun 1975.
Deng Xiaoping punya logika baru. Taiwan tidak usah direbut dengan senjata. Tiongkok yang miskin tidak menarik. Terutama bagi rakyat Taiwan yang sudah makmur.
Maka Tiongkok harus makmur dulu. Bahkan harus lebih makmur. Nanti Taiwan kan terambil sendiri. Melalui jalan ekonomi.
Maka diputuskanlah: menghentikan penembakan ke pulau kosong itu. Tahun 1979 itu. Setelah 30 tahun pulau itu ditembaki hampir setiap hari. Alangkah bosannya yang menembaki. Dan alangkah lebih bosannya lagi yang ditembaki.
Empat puluh tahun kemudian. Awal Januari 2019. Taiwan masih kaya. Tiongkok sudah lebih kaya. Lebih kuat. Terkuat kedua di dunia.
Di bidang ekonomi. Teknologi. Persenjataan. Empat puluh tahun lamanya. Jalan damai ditempuh. Jalan ekonomi dilalui. Penembakan dihentikan. Taiwan belum menyerah juga. Bahkan merasa lebih kuat. Sejak Amerika dipimpin Presiden Donald Trump. Yang selalu memback-up Tsai Ing-Wen. Mengijinkannya singgah di Amerika. Mengirim kapal perangnya ke selat Taiwan.
Presiden Xi Jinping mengadakan rapat puncak pimpinan negara. Di liburan akhir tahunnya.
Xi pun mengeluarkan pidato awal tahunnya. Yang begitu keras.
Xi menunjuk Hongkong. Sebagai contoh. Setelah 20 tahun bergabung dengan Tiongkok. Menggunakan formula satu negara dua sistem. Toh berjalan baik-baik saja, katanya. Dengan Hongkong tetap seperti negara merdeka. Punya mata uang sendiri. Punya bank sentral sendiri. Punya demokrasi sendiri. Yang orang Tiongkok pun perlu paspor dan visa. Untuk pergi ke Hongkong.
Kita pun tidak perlu visa ke Hongkong. Meski perlu visa ke Tiongkok.
Demikian juga dengan Macau. Setelah dilepas oleh Portugis. Hampir 18 tahun lalu.
Tiongkok rupanya sudah bosan berhenti menembaki pulau itu.
Siapa tahu Tiongkok hanya kangen saja. Atau hanya ngetes nyali presiden Amerika.
Penulis: Dahlan Iskan