Oleh: Budiawan, KAM Institute
JAKARTA, MENARA62.COM – Di tengah dunia kerja yang serba cepat, kita sering terjebak mengidolakan talenta muda yang energik, seolah pengalaman tak lagi relevan. Padahal, keberhasilan organisasi justru lahir dari dialog dua generasi: yang berpengalaman dan yang berani berubah.
Bayangkan bekerja di perusahaan besar, ribuan orang bergantung pada keputusan pimpinan puncak, dan tiba-tiba—belum genap setahun—Direktur Utama diganti. Bingung? Penasaran? Atau bahkan skeptis terhadap arah perusahaan?
Inilah yang terjadi di Garuda Indonesia pada Oktober 2025.
Refleksi Awal: Mengapa Ini Penting bagi Organisasi dan Karyawan
Pergantian pimpinan di level eksekutif bukan sekadar pergantian nama di website atau siaran pers. Ia memengaruhi budaya organisasi, moral karyawan, dan arah strategi jangka panjang.
Bagi banyak karyawan, terutama generasi muda yang baru menapaki karier, perubahan mendadak bisa menimbulkan ketidakpastian. Apakah proyek yang sedang dijalankan tetap dilanjutkan? Apakah target divisi berubah? Bagaimana nasib penilaian kinerja dan promosi?
Situasi seperti ini menuntut peran aktif Human Capital (HC) untuk menjaga psychological contract—keyakinan karyawan bahwa perusahaan akan memperlakukan mereka secara adil dan konsisten. Bagi Gen Z, yang tumbuh dalam budaya transparansi dan ekspektasi tinggi terhadap kejelasan arah karier, kontrak psikologis ini menjadi penentu loyalitas.
Kronologi Kasus: Dirut Garuda yang Berganti Cepat
* Dirut sebelumnya: Wamildan Tsani Panjaitan, purnawirawan TNI AU, berpengalaman di Lion Air, menjabat sejak November 2024.
* Dirut baru: Glenny Kairupan, purnawirawan TNI Akabri 1973, berusia 76 tahun, sebelumnya anggota Dewan Komisaris Garuda.
Pergantian ini terjadi belum genap satu tahun, meski Wamildan baru saja meluncurkan beberapa inisiatif strategis.
Dalam konteks global, pergantian secepat ini tergolong ekstrem. Sepuluh tahun terakhir, kursi Dirut Garuda berganti lebih dari lima kali—rata-rata setiap dua tahun. Di BUMN lain, pergantian Dirut biasanya terjadi setiap 3–4 tahun, sehingga Garuda tergolong cepat berganti. Bandingkan dengan Singapore Airlines, yang biasanya mempertahankan CEO minimal 6 tahun agar strategi jangka panjang dapat berbuah.
Mengapa hal ini penting? Karena konsistensi kepemimpinan sangat berpengaruh terhadap engagement karyawan, kepercayaan investor, dan kesinambungan strategi bisnis. Dalam kasus Garuda, perubahan cepat ini diambil di tengah proses restrukturisasi finansial dan transformasi operasional, dua agenda yang membutuhkan stabilitas eksekusi.
Strategic Alignment: Menyelaraskan Talenta dengan Visi Bisnis
Pemilihan Glenny Kairupan sebagai Dirut baru tidak lepas dari prinsip strategic alignment—penyelarasan antara strategi bisnis dan strategi talenta.
Garuda saat ini tidak sekadar mencari pemimpin yang populer, tetapi figur dengan kemampuan mengeksekusi strategi penyehatan keuangan dan menjaga stabilitas organisasi.
Dalam konteks talent management, ini menegaskan bahwa kriteria utama bukanlah usia atau jabatan terakhir, melainkan relevansi kompetensi dengan tantangan strategis organisasi.
Contoh serupa bisa ditemukan pada IBM dan General Electric (GE), yang dalam masa krisis kerap menunjuk eksekutif senior dengan pengalaman transformasional untuk memulihkan kepercayaan pasar.
Succession Agility: Fleksibilitas dalam Perencanaan Suksesi
Kebijakan baru BUMN di era Prabowo–Danantara, yang menghapus batas usia 58 tahun untuk Direksi, menandakan perubahan paradigma besar: usia bukan lagi faktor pembatas, melainkan salah satu variabel dalam bauran kompetensi dan pengalaman.
Dari sudut pandang HC, ini mengajarkan pentingnya succession agility—kemampuan organisasi menyesuaikan perencanaan suksesi dengan dinamika bisnis dan kondisi eksternal. Perusahaan modern tidak bisa hanya menyiapkan talent pipeline dari kalangan muda, tetapi juga perlu mengoptimalkan talenta senior yang masih memiliki relevansi strategis.
Bagi Gen Z profesional di bidang HC, pelajaran ini sangat kontekstual: pipeline talenta harus multigenerasional. Inovasi memang penting, tetapi pengalaman adalah peta jalan yang mencegah organisasi mengulangi kesalahan lama.
Kepemimpinan Senior dan Psychological Contract
Pengalaman panjang para pemimpin berlatar militer seringkali menghadirkan kemampuan manajemen krisis, pengambilan keputusan cepat, dan koordinasi tim dalam situasi tekanan tinggi. Kualitas seperti ini menjadi aset penting bagi perusahaan yang tengah menghadapi gejolak atau restrukturisasi.
Namun, pergantian pimpinan yang cepat juga menguji kepercayaan karyawan. HC harus memastikan komunikasi internal berjalan baik—menjelaskan alasan perubahan, arah kebijakan baru, dan implikasinya terhadap kesejahteraan serta karier karyawan. Tujuannya bukan hanya menjaga moral, tetapi memastikan bahwa setiap individu merasa menjadi bagian dari misi besar organisasi.
Bagi Gen Z, hal ini relevan karena mereka lebih sensitif terhadap makna dan nilai pekerjaan dibandingkan sekadar gaji. Ketika organisasi terbuka dan menjelaskan arah perubahan, loyalitas emosional dan profesional akan lebih mudah terbentuk.
Dampak Sosial dan Organisasi
Pergantian pimpinan di puncak bukan hanya urusan elite korporat; efeknya menjalar hingga ke level operasional.
* Secara internal, moral tim bisa menurun bila tidak ada kejelasan arah.
* Secara eksternal, publik dan investor menilai stabilitas perusahaan dari kontinuitas kepemimpinan.
* Secara strategis, transisi yang tidak mulus bisa menunda implementasi inisiatif penting.
Di sinilah peran HC krusial: menjaga engagement, komunikasi lintas fungsi, dan keberlanjutan budaya organisasi. Gen Z yang menempati posisi HC kini punya peluang besar menunjukkan kemampuan manajemen perubahan (change management) yang adaptif—memastikan transisi berjalan dengan empati dan kejelasan.
Takeaway untuk Gen Z di Dunia HC
Pelajaran utama dari kasus Garuda dapat dirangkum dalam empat prinsip kunci Talent Management modern:
1. Kompetensi lebih penting daripada usia. Senioritas tidak menjamin efektivitas, tetapi pengalaman tetap bernilai bila sejalan dengan kebutuhan strategis.
2. Strategic fit adalah kunci. HC harus mampu menilai talenta berdasarkan kesesuaian antara kompetensi dan arah bisnis, bukan sekadar rekam jejak administratif.
3. Leadership experience itu aset. Dalam situasi krisis, pemimpin dengan pengalaman panjang bisa menjadi jangkar stabilitas organisasi.
4. Succession agility dan psychological contract harus dijaga. Fleksibilitas dalam suksesi harus diimbangi dengan upaya mempertahankan kepercayaan karyawan.
Penutup: Gen Z, Saatnya Bertindak
Kisah pergantian Dirut Garuda bukan sekadar berita korporasi. Ia adalah cermin tentang bagaimana talenta dipilih, diuji, dan diukur dalam konteks nyata. Dunia kerja masa depan tidak lagi bicara soal “muda atau tua”, melainkan soal siapa yang siap memimpin perubahan dengan kompetensi, relevansi, dan integritas.
Sebagai Gen Z di dunia HC, tantanganmu jelas: jangan hanya menilai umur atau jabatan terakhir. Bentuklah sistem di mana pengalaman senior dan energi muda bisa bersinergi. Karena jika kita tidak mengambil kesempatan ini, organisasi lain yang akan melakukannya—dan masa depan talent management Indonesia akan ditentukan tanpa kontribusimu.
—
Referensi
* Armstrong, M., & Taylor, S. (2020). Armstrong’s Handbook of Human Resource Management Practice. Kogan Page.
* Charan, R., Barton, D., & Carey, D. (2018). Talent Wins: The New Playbook for Putting People First. Harvard Business Review Press.
* Goleman, D. (2013). Focus: The Hidden Driver of Excellence. Harper.
* Ulrich, D., & Allen, J. (2017). Victory Through Organization: Why the War for Talent Is Failing Your Company and What You Can Do About It. McGraw-Hill.
* Dessler, G. (2020). Human Resource Management (16th ed.). Pearson Education.
* Data Garuda Indonesia (2025). Laporan Publikasi dan Restrukturisasi Korporasi. Jakarta: Kementerian BUMN.
* “Pergantian Direksi Garuda Indonesia.” (2025, Oktober). Kompas.id.

