26.4 C
Jakarta

Taliban “Baru”

Baca Juga:

Taliban resmi menguasai kembali Afghanistan sejak awal pekan ini. Gejalanya sebetulnya sudah diketahui sejak bulan lalu, ketika Taliban mulai menguasai kota-kota di Utara Afghanistan. Pejuang Taliban, akhirnya berhasil menduduki Kabul setelah Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani kabur ke Tajikistan, Ahad (15/8/2021). Meskipun, di negara tetangganya itu Ashraf Ghani pun ditolak, dan berbelok menuju Oman, untuk kemudian meneruskan perjalanan ke Amerika Serikat.

Ini merupakan kebangkitan Taliban yang pertama setelah 20 tahun Afghanistan dikuasai Amerika Serikat dengan dukungan pasukan koalisi dari berbagai negara. Taliban terakhir menguasai Afghanistan tahun 2001, jatuh setelah serangan Amerika Serikat dan pasukan koalisi, setelah peristiwa 9 September 2001. Peristiwa yang kemudian dikenal dengan sebutan 911.

Cakrawala baru

Politik tidak pernah stabil. Di bawah kekuasaan pasukan asing, tidak juga memberikan kestabilan ekonomi. Bahkan, harapan untuk segera ada perubahan dan munculnya hasil pembangunan juga tidak segera terlihat. Mereka sudah 20 tahun di bawah kekuasaan asing. Tidak heran kalau kemudian ketidakpuasan muncul. Rakyat mulai teringat dengan kemakmuran masa lalu.

Mungkin ini mirip dengan rakyat Indonesia yang mengingat kemakmuran pada Era Pemerintahan Soeharto yang sudah berhenti sebagai presiden pada awal reformasi 1998.

Harga diri sebagai warga negara jajahan, tentu terhina, tertekan. Dan ini pula mirip, dengan rasa harga diri rakyat Indonesia ketika berhadapan dengan rejim penguasa asing. Kalau di tanah air cukup bersabar dengan 250 tahun dibawah kekuasaan asing, Rakyat Afghanistan sudah bergerak dalam waktu sekitar 20 tahun kekuasaan asing. Harga diri menjadi satu hal yang tidak bisa dipandang ringan.

Ini pula yang tampaknya memunculkan simpati baru pada Taliban. Apalagi, penampilan dan pandangan pemimpin Taliban baru, memperlihatkan hal yang berbeda dengan Taliban generasi sebelumnya. Inilah generasi “millenial” Taliban yang matang dalam kondisi penjajahan asing.

Meskipun Taliban juga memiliki banyak faksi dengan pemimpin yang berbeda, namun Mullah Muhammad Rasul (56), tampaknya punya pengaruh yang cukup besar. Sebagai orang yang berasal dari salah satu suku terbesar di Afghanistan, Pasthun, tampaknya ia bisa membangun basis massa.

Suku Pasthun ini, populasinya tersebar di daerah timur dan selatan Afganistan dan di Provinsi Perbatasan Barat Laut, dan Balochistan yang menjadi bagian provinsi dari Pakistan. Suku Pasthun ini, dalam sejumlah literatur disebutkan sebagai etnis besar di Iran Timur yang berbahasa Pashto. Mereka kemudian menetap di wilayah Afghanistan dan Pakistan.

Rasul, yang kampungnya  di daerah selatan Afghanistan dekat perbatasan Pakistan, telah memberikan warna bagi Taliban “baru”. Pemikirannya dikenal moderat dan menjalankan Islam dengan mazhab Sunni, serta penuh kecintaan pada kebangsaan Afghanistan, nasionalisme.

Ia tampaknya melarang orang asing menjadi pejuang di Taliban. Ini tentu berbeda dengan Taliban “lama” yang identitas asing tidak dipandang kecuali agamanya Islam. Dalam Taliban “lama” orang asing seperti Osama bin Laden yang berasal dari Arab Saudi pun bisa memimpin Al-Qaeda. Sejumlah jabatan di Taliban pun di pegang orang asing.

Banyak yang kecele dengan Rasul. Al-Qaeda dilarang beroperasi di Afghanistan, ISIS pun ditolak, Hizbut Tahrir yang menawarkan sistem kekhalifahan Islam pun tidak diterima. Kira-kira Rasul mengatakan Afghanistan hanya untuk orang-orang Afghanistan. Mirip sekali dengan semboyan nasionalisme yang sempat dituangkan dalam konstitusi, bahwa presiden Indonesia harus orang Indonesia asli.

Namun, apakah nasionalisme semacam ini akan terus bertahan, sesudah Amerika Serikat mengambil keputusan untuk hengkang dari Afghanistan, hanya perjalanan sejarah yang akan memperlihatkannya. Apalagi, Tiongkok dengan kekuatan ekonomi barunya di ujung sana sudah mengintip.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!