33.3 C
Jakarta

Tambang Ramah Lingkungan

Baca Juga:

Oleh: Buya Amirsyah Tambunan (Sekjen MUI)

YOGYAKARTA, MENARA62.COM – Perbincangan soal tambang seolah tidak akan berakhir, Bagaiikan mata air yang dapat mewujudkan kebaikan (maslahat) di satu sisi keburukan (mafsadat) di sisi lain.

Ketika tambang membawa kebaikan (masalahat) harus dikelola sejalan dengan Fatwa MUI No. 22 Tahun 2011 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan yang memberikan amanat kepada semua pemangku kepentingan seperti pemerintah, masyarakat, pelaku usaha, dan lain lain.

Kita perlu memberikan apresiasi kepada pemerintah yang telah memberikan ijin pemanfaatan lahan untuk pertambangan dengan ketentuan harus di batasi, selektif dan berkeadilan; serta untuk kemaslahatan umat (maslahah ammah).

Pemerintah telah melakukan affirmative action yakni kebijakan yang diambil agar kelompok tertentu berdasarkan PP No. 25 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagai mana di sebutkan dalam pasal 83 A menjelaskan antara lain:

(1) Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan.

(2) WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wilayah eks PKP2B.

(3) IUPK dan/atau kepemilikan saham organisasi kemasyarakatan keagamaan pada Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipindahtangankan dan/atau dialihkan tanpa persetujuan Menteri.

(4) Kepemilikan saham organisasi kemasyarakatan keagamaan dalam Badan Usaha harus mayoritas dan menjadi pengendali.

(5) Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilarang bekerjasama dengan pemegang PKP2B sebelumnya dan/atau afiliasinya.

(6) Penawaran WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini berlaku.

Untuk melaksanakan PP tersebut telah terbit Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Perpres No.70 Tahun 2023 tentang Pengalokasian Lahan Bagi Penataan Investasi.

Dalam Perpres ini tegas mengatakan pada Pasal 5A (1) Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK yang berasal dari wilayah eks PKP2B dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh Organisasi Kemasyarakatan keagamaan.

(2) Organisasi Kemasyarakatan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) dan memiliki organ yang menjalankan kegiatan ekonomi serta bertujuan pemberdayaan ekonomi anggota dan kesejahteraan masyarakat/ umat.

(3) Penawaran WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak PP No.25 Tahun 2024. Berdasarkan aturan tersebut timbul pertanyaan bagaimana tata kelola yang baik sehingga dapat menjaga kelestarian lingkungan.

Oleh karena itu hukum positif ini sebagaimana dijelaskan diatas belum cukup, karena itu penting ijtihad baru yakni pertambangan secara syariah.Para ahli hukum Islam menyadari hal ini, sehingga muncul adagium yang berbunyi “teks-teks hukum itu terbatas apa adanya, sementara kasus-kasus hukum tiada terbatas” (al-nushush mutanahiyah, wa amma al-waqa’i’ ghair mutanahiyah).

Di sinilah perlunya ijtihad pelestarian lingkungan berupa Fatwa MUI. Untuk itu menjaga lingkungan hidup (hifzhu al-bi’ah) jelas berada dalam bingkai mashlahah. Al-Quran hanya menyinggung tentang prinsip-prinsip konservasi dan restorasi lingkungan, seperti larangan perusakan atau larangan berlebih-lebihan (israf) dalam pemanfaatannya.

Prinsip-prinsip ini dinamakan mashlahah mu’tabarah. Namun, sejauh mana kadar berlebih-lebihan serta teknis operasional penjagaan tidaklah ditemukan dalam Al-Quran. Kita harus berijtihad secara kolektif bagaimana, misalnya, tambang supaya tidak merusak lingkungan.

Kebutuhan untuk menjaga lingkungan tetap niscaya untuk dijalankan, karena lingkungan hidup merupakan penopang segala kehidupan ciptaan Tuhan.

Nah, melalui fikih lingkungan (fiqh al-bi’ah), pesan lingkungan dari agama bisa ditransfer dan menjadi inspirasi baru bagi pengelolaan lingkungan hidup. Rumusan fikih lingkungan sejatinya dapat digunakan sebagai panduan tindakan preventif agama supaya perilaku manusia tidak melawan alam.

Walhasil, menjaga dan melestarikan lingkungan bukan lagi sekadar wajib kifayah, melainkan berhukum wajib ‘ain, yakni kewajiban yang hanya bisa gugur apabila setiap insan di muka bumi ini menunaikannya. Inilah produk fikih lingkungan (fiqh al-bi’ah) melengkapi maqasit syariah yang lima agar dapat menjaga lingkungan (hifzul bi’ah) dan mengharamkan merusak lingkungan.

Oleh karena itu mengelola tambang secara syariah perlu di lakukan sehingga terhindar dari kerusakan (mafsadat). Dewan Pengawas Syariah penting untuk melakukan pengawasan dari hulu hingga hilir sehingga praktik pertambangan berjalan sesuai tujuan syariah (maqasid syariah).

Kita tidak ingin kerusakan dan keserakahan pengelolaan tambang yang hanya di kuasai sekelompok orang yang menyebabkan keserakahan.

Akan di tetapi kita berharap pengelolaan tambang yang akan di lakukan ormas mendatangkan kemaslahatan guna melestarikan dan memuliakan hidup sehingga dapat mewujudkan melestarikan lingkungan hidup.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!