JAKARTA, MENARA62.COM – Upaya meningkatkan kesejahteraan dan menjaga kualitas guru seperti disampaikan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim dalam video “Kupas Tuntas Isu Kesejahteraan Guru dalam RUU Sisdiknas”, patut diapresiasi. Meski demikian, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) memberikan beberapa catatan mengenai paparan tersebut.
Pertama, penghapusan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kemudian digabung dalam RUU Sistem Pendidikan Nasional, sesuatu yang memprihatinkan karena tidak ada lagi penghargaan kepada guru yang jumlahnya 3,1 juta orang sebagai sebuah profesi. Padahal profesi lainnya diakui dalam sebuah undang-undang (UU) seperti UU 18/2003 tentang Advokat, UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU 38/2014 tentang Keperawatan, UU 11/2014 tentang Keinsinyuran serta berbagai profesi lainnya.
“Penghapusan guru sebagai sebuah profesi, menihilkan pengabdian serta kerja keras guru yang selama ini dengan tulus ikhlas bertugas diseluruh pelosok negeri untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. “Bagi kami UU Guru dan Dosen adalah Lex Specialis Derogat Legi Generali bagi profesi guru,” kata Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi dalam siaran persnya, Kamis (15/9/2022).
Kedua, seiring dengan penghapusan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, tunjangan profesi guru juga bakal dihapuskan. Penghapusan tunjangan profesi guru adalah kebijakan yang sangat menyakitkan dan merendahkan. Tunjangan profesi bukan sekedar persoalan uang, tetapi sebuah penghargaan dan penghormatan negara terhadap profesi guru. “Guru merasa bangga karena profesinya diakui dan dihormati negara,” lanjutnya.
Menyangkut tunjangan profesi, memang dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Sisdiknas Pasal 145 Ayat (1) dinyatakan, “Setiap guru dan dosen yang telah menerima tunjangan profesi, tunjangan khusus, dan/atau tunjangan kehormatan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebelum undang-undang ini diundangkan, tetap menerima tunjangan tersebut sepanjang masih memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”.
“Dalam pandangan kami, frasa “sebelum undang-undang ini diundangkan”, artinya tunjangan profesi guru akan hilang, jika RUU Sisdiknas ini diundangkan,” lanjut Unifah.
Menurutnya, jika Kemendikbudristek bersungguh-sungguh akan tetap memberikan tunjangan profesi guru (TPG), maka frasa “sebelum undang-undang ini diundangkan” harus dihapus. Penghapusan ini sekaligus agar substansi RUU Sisdiknas tidak bias dan multi tafsir serta ada jaminan guru tetap menerima tunjangan profesi.
Lebih dari itu, Kemendikbudristek perlu menjelaskan secara secara jujur dan terbuka, mengapa muncul pemikiran untuk menghapus tunjangan profesi guru.
Ketiga, Kemendikbudristek secara lisan menyatakan, pemberian tunjangan untuk guru Aparatur Sipil Negara akan mengacu kepada Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) berupa tunjangan fungsional. Meski demikian, ketentuan ini tidak tercantum secara eksplisit dalam RUU Sisdiknas, hanya disampaikan secara lisan.
Selain itu mesti disadari, tunjangan profesi berbeda dengan tunjangan fungsional yang melekat dalam jabatan/kepangkatan seseorang. Adapun tunjangan profesi guru landasan hukumnya sangat kuat yakni Pasal 16 Ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang berbunyi, “Pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Ayat (1) kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik…”. Kemudian pada Pasal 16 Ayat (2) ditegaskan, tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja dan kualifikasi yang sama.”
Karena tidak dinyatakan secara tertulis, kata Unifah, hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan guru apakah Kemendikbudristek bersungguh-sungguh akan memberikan tunjangan “fungsional” untuk guru atau tidak. “Jika besaran tunjangan profesi diikat oleh undang-undang sebesar satu kali gaji, bagaimana dengan tunjangan fungsional? Selama ini tidak pernah ada penjelasan dari Kemendikbudristek, apalagi dinyatakan secara tegas dalam undang-undang sehingga menimbulkan kekhawatiran di kalangan guru,” tukas Unifah.
Kekhawatiran ini bisa dipahami, karena ketentuan yang sudah tertulis secara tegas dalam undang-undang pun tidak dilaksanakan. Misalnya, dalam Pasal 82 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dinyatakan, guru yang belum mendapat sertifikat pendidik wajib memiliki sertifikat pendidik paling lama 10 tahun sejak Undang-undang tersebut diberlakukan. Artinya, persoalan sertifikat pendidik mestinya sudah selesai pada tahun 2015.
Kenyataannya, Kemendikbudristek mengakui sampai 2022 masih ada 1,6 juta guru yang belum mendapat sertifikat pendidik. “Jadi, siapa yang lalai dalam menjalankan amanat Undang-undang Guru dan Dosen? Begitupun janji untuk mengangkat satu juta guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), kenyataannya jauh dari pernyataan yang dulu disampaikan dengan sangat manis,” tegas Unifah.
Kempat, lebih memprihantinkan lagi guru-guru sekolah swasta. Pengaturannya akan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Tidak ada lagi kekhususan untuk dunia pendidikan dan profesi guru, melainkan disamakan penghasilannya dengan buruh.
Selain itu Kemendikbudristek mengesampingkan atau tutup mata terhadap kondisi sekolah swasta di Tanah Air. Tidak semua sekolah swasta kondisinya baik secara ekonomi. Banyak sekolah swasta yang kondisinya memprihatinkan, namun dilandasi semangat pengabdian yang tulus para pengurusnya, mereka tetap memberikan pelayanan pendidikan terbaik kepada peserta didik yang tidak mampu secara ekonomi.
Kemdikbudristek lanjut Unifah memang menjanjikan akan memberikan tambahan Biaya Operasional Sekolah (BOS) kepada sekolah-sekolah swasta tersebut. Namun bagi PGRI, BOS itu adalah anggaran dari peserta didik untuk peserta didik, penggunaannya adalah untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan di sekolah, bukan diperuntukan bagi gaji guru.
Karena itu, Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) meminta agar tunjangan profesi guru tetap diberikan kepada guru dan dinyatakan secara tegas dalam Undang-undang Sisdiknas. PGRI sangat setuju dan berkomitmen untuk mendukung Kemendikbudristek dalam meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru. Karena itu Pedidikan Profesi Guru (PPG) tidak dilakukan dengan metode yang rumit, namun melihat kompetensi dan profesionalisme guru di kelas. Sertifikasi harus merupakan bagian integral dari pengembangan profesi guru. Guru harus terus-menerus mendapat pelatihan terstruktur yang diselenggararakan oleh lembaga khusus dan professional.
Jadi untuk meningkatkan kesejahteraan guru, sudah selayaknya tunjangan profesi guru tidak dihapuskan. Sedangkan untuk meningkatkan kualitas guru, sistem pembinaan profesi yang harus diperbaiki. “Melalui kedua langkah tersebut, kita mengharapkan akan tercipta guru-guru yang sejahtera dan berkualitas sehingga akan membawa kemajuan bagi Indonesia,” katanya.
“Patut diingat oleh pemerintah bahwa PGRI akan terus berjuang demi kemaslahatan guru sebab kami memiliki berbagai argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan secara historis, filosofis, akademis, dan empiris mengenai urgensi TPG bagi keberlangsungan profesi guru. Jujur dan terbukalah Mendikbudristek kepada kami para guru!” tutup Unifah.