JAKARTA – Ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan (ATHG) yang dihadapi bangsa Indonesia bukanlah hal yang baru. Sejak didirikannya negeri ini, berbagai ATHG bermunculan mewarnai proses pembentukan wilayah darat negara Indonesia yang melalui 4 gelombang.
“Empat gelombang yang dimaksud adalah terintegrasinya pulau-pulau dalam wilayah kesatuan Indonesia. gelombang pertama misalnya adalah pulau Sumatera, Bali, Madura dan Jawa,” tutur Dewan Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bhakti Pontjo Sutowo, di sela Diskusi Panel Serial bertema Menggalang Ketahanan Nasional Untuk Menjamin Kelangsungan Hidup Bangsa, Sabtu (7/7). Tampil sebagai pembicara adalah Prof. Dr. Bambang Wibawarta, Guru Besar Budaya UI dan Prof. Dr. Irfan Idris, MA, Direktur Deradikalisasi BNPT.
Bentuk ATHG tersebut umumnya adalah pembrontakan yang dilakukan sebagian rakyat dengan berbagai tuntutan kepada pemerintah pusat. Ada kalanya mereka bermaksud mendirikan negara tersendiri atau memisahkan diri dari NKRI.
Tetapi adakalanya gangguan tersebut dipicu oleh ketidakadilan pembangunan, faktor politik, ekonomi dan sosial. Intinya hampir semua wilayah di Indonesia pernah muncul gerakan pembrontakan maupun gangguan keamanan.
Pontjo mengatakan bentuk ATHG saat ini berbeda dengan ATHG jaman dahulu. Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, dampak dari ATHG justeru jauh lebih dasyat dan berbahaya, karena bisa menimbulkan perang assymmetris atau dikenal perang generasi ke-4.
Telaah terhadap pasal-pasal yang mengatur keadaan darurat dan pertahanan keamanan dalam UUD 1945 lanjut Pontjo, memberikan kesan bahwa pendiri negara masih dipengaruhi oleh konsep konvensional tentang keadaan bahaya dan tentang perang.
“Besar kemungkinan, para pendiri bangsa kurang faham terhadap implikasi kemajemukan kultural masyarakat kita terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, tentang faktor penyebab terjadinya pembrontakan, perang subversi dan perang assymmetris yang demikian canggih,” tambahnya.
Selain itu, ada kesan juga bahwa para perancang amandemen UUD 1945 dan perancang UU tentang Pertahanan Negara, UU tentang Kepolisian RI, serta UU tentang Tentara Nasional Indonesia, sama tidak fahamnya dengan Pendiri Negara 73 tahun lalu.
Akibatnya kita seperti tidak siap menghadapi sedemikian banyak aksi musuh yang sudah mulai menguasai masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara khususnya dibidang ideologi,politik, ekonomi, sosia, budaya juga hankam. UU yang dibentuk tidak hanya menimbulkan kelengahan tetapi juga konflik antar sesama.
“Kita ambil contoh bagaimana aksi terorisme belakangan sedemikian sering muncul. Aksi tersebut acapkali didasari oleh motivasi keagamaan yang bersifat sektarian,” tukas Pontjo.
Meski aksi terorisme tidak mendapatkan dukungan mayoritas umat beragama, Pontjo menilai perlunya dicari format untuk pencegahan dan penangkalan aksi teror yang lebih canggih. Format pencegahan tersebut sepatutnya yang mampu mengajak seluruh lapisan masyarakat termasuk para tokoh agama untuk ambil bagian di dalamnya.
Sementara itu Prof Dr. Irfan Idris MA, Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengatakan pola propaganda dan rekruitmen anggota teroris saat ini jauh lebih canggih dibanding jaman dahulu. Jika dahulu perekruitan berfokus pada kekeluargaan, pertemanan, ketokohan dan lembaga keagamaan, maka saat ini rekruitmen banyak memanfaatkan media sosial, website dan social messenger.
Penggunaan dunia maya ini menurut Irfan memiliki sejumlah keunggulan. Diantaranya mudah diakses, tidak ada kontrol, audiens lebih luas, anonim, kecepatan informasi, murah, mudah, dan bersifat multimedia.
Pemerintah sendiri telah melakukan berbagai kebijakan untuk menutup akses para teroris ini melalui penutupan situs, de-registrasi domain, penyaringan IP addres, penyaringan konten dan penyaringan search engine.