JAKARTA, MENARA62.COM– Indonesia dinilai gagal mencegah Psycho Cultural Warfare, Media Warfare, dan Legal Warfare, yang dibidik oleh negara lain khususnya China. Karena itu untuk menghadapinya, kini Indonesia membutuhkan Critical Mass, yakni masyarakat yang memiliki kesadaran, kepedulian dan nasionalisme untuk menangkis proxy war.
“Kondisi Indonesia sangat parah. Bagimana kita gagal mencegah perang budaya, hukum dan media,” kata Laksda TNI (Pur) Robert Mangindaan, Pengamat Inteligen di sela diskusi Panel Serial kedua dengan tema: “Menggalang Ketahanan Nasional Untuk Menjamin Kelangsungan Hidup Bangsa” yang digelar Yayasan Suluh Nuswantara Bhakti (YSNB). Hadir Pembina YSNB Pontjo Sutowo.
Sebagai contoh nyata adalah bagaimana Indonesia menjadi negara satu-satunya di dunia yang harus menyebut China dan Tiongkok dalam perundang-undangan. Ini seolah mengarahkan Indonesia menjadi bagian dari agen kepentingan China.
Mayjen (Pur) IGK Manila mengingatkan bahwa titik berat pertahanan telah beralih dari pertahanan militer kepertahanan non militer. Perang dimana invasi, agresi, dan serangan militer konvensional hampir dapat dikatakan jarang terjadi.
Strategi perang yang dilancarkan negara asing adalah dengan perang modern yang non konvensional dan halus serta tidak terasa. Perang modern itu saat ini disebut proxy war. Namun sekalipun sebagai perang non konvensional, ia tetap mampu membuat suatu Negara lambat laun akan takluk dan kehilangan kendali atas negaranya.
“Perang modern yang saat ini tengah terjadi menggunakan konsep senjata baru. Senjata baru tersebut adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Seperti misalnya perdagangan, cyber, dan moneter,” jelas Manila.
Sekalipun sebagai ancaman nyata, sayangnya Indonesia tidak mempersiapkan diri untuk itu. I.G.K Manila mencontohkan bagaimana suatu wilayah di Indonesia hilang akibat adanya serangan kekuata nekonomi. Misalnya saja hilangnya 10 pulau kecil disekitar Pulau Durian dan Combol di Kepulauan Riau (Kepri). Hilangnya pulau-pulau tersebut sebagai akibat adanya reklamasi Singapura yang menambah luas wilayah daratannya darisemula 527 km persegi sampai tahun 1999 menjadi 660 km persegi.
“UU Hankam yang seharusnya mampu menangkal serangan proxy war seperti kasus tersebut, tenyata belum ada. Kini Indonesia menjadi sasaran empuk atas proxy war.Ini seharusnya segera diatasi bersama utamanya oleh pemerintah. Karena itu UU Hankam yang mampu mengelola pengaruh proxy war harus segera dibuat dan diterapkan”, kata Manila.
Sementara itu menurut Brigjen (Pur) Dr Saafroedin Bahar, timbulnya perang modern mengharuskan bangsa ini melakukan peninjauan kembali terhadap doktrin, strategi, taktik, dan institusi dalam bidang pertahanan keamanan. Dalam peninjauan itu, Angkatan Perang perlu berada di lini kedua. Dab Kepolisian Negara Republik Indonesia, kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian, serta organisasi kemasyarakatan, berada di lini pertama.
“Dalam peninjauan itu, perlu juga diefektifkan landasan hukum untuk keterpaduan tugas, hak, wewenang, dan tanggungjawab lembaga kepresidenan sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan, dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sangat disayangkan hingga saat ini UU Lembaga Kepresidenan Indonesia belum juga ada. Padahal keberadaan UU Kepresidenan itu akan mampu membuat garis tegas eksistensi bangsa ke depannya”, kata Saafroedin Bahar.