SINGKAWANG, MENARA62.COM — Ketua DPR RI Bambang Soesatyo menegaskan, temuan Ombudsman Republik Indonesia tentang tujuh provinsi yang banyak didatangi tenaga kerja asing (TKA) para pekerja kasar harus segera ditindaklanjuti.
“Apalagi informasinya TKI pekerja kasar tersebut dibayar lebih tinggi untuk pekerjaannya, yang sebenarnya dapat dikerjaan oleh pekerja lokal Indonesia yang masih banyak menganggur,” kata Bambang Soesatyo melalui pernyataan tertulis diterima Antara di Singkawang, Sabtu (28/4/2018).
Bambang Saoesatyo merujuk pada temuan Ombudsman, bahwa ada tujuh provinsi di Indonesia yang menjadi sasaran TKA pekerja kasar, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sulawesi Tenggara, Papua Barat, Sumatera Utara, dan Kepulauan Riau.
Gaji untuk TKA di posisi sopir mencapai Rp15 juta, sedangkan posisi sopir untuk pekerja lokal hanya digaji Rp 5 juta.
Bamsoet, panggilan akrab Bambang Soesatyo menyatakan, Komisi IX DPR RI harus segera memanggil Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) untuk mengklarifikasi temuan Ombudsman tersebut.
“Karena, hasil temuan tersebut berpotensi menimbulkan konflik,” katanya.
Politisi Partai Golkar itu juga mengusulkan, agar Komisi terkait di DPR RI segera menggelar rapat gabungan guna mengkaji persoalan TKA pekerja kasar, sekaligus memberikan solusi bagi pelaksanaan Perpres Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
Mantan Ketua Komisi Hukum DPR RI itu juga meminta Kemnaker segera meningkatkan pengawasan terhadap TKA yang bekerja di Indonesia, salah satunya adalah dengan menggunakan sistem teknologi informasi (TI) mengenai integrasi data penempatan TKA.
Menurut Bamsoet, dengan sistem TI, maka keberadaan TKA juga akan lebih mudah dipantau, seperti memastikan lokasi kerja TKA dalam IMTA (izin mempekerjakan tenaga asing) sesuai dengan fakta lokasi kerja sebenarnya.
“TKA yang bekerja di Indonesia saat ini, hampir 90 persen adalah pekerja kasar,� katanya.
Bamsoet juga meminta Kemenaker bersama Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) untuk meningkatkan sarana prasana pelatihan bagi tenaga kerja lokal, sehingga tenaga lokal dapat memiliki bekal keterampilan yang mumpuni dan mampu bersaing dengan TKA.
Politisasi
Sementara itu sebelumnya, politikus PDI Perjuangan Juliari P Batubara menilai polemik soal Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Tenaga Kerja Asing (TKA) sengaja dipolitisasi.  “Jumlah TKA di Indonesia masih kecil sekali, cuma puluhan ribu orang,” kata anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tersebut di Semarang, Jumat (27/4/2018) malam, seperti dilansir Antara.
Hal tersebut diungkapkan Ari, sapaan akrab Juliari, usai menghadiri Rapat Kerja Cabang Khusus (Rakercabsus) DPC PDI Perjuangan Kota Semarang di Semarang.
Ari membandingkan dengan jumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) di negara lain yang sangat besar, seperti Malaysia yang jumlah TKI-nya mencapai sekitar dua juta orang.
“Coba bayangkan TKI di Malaysia ada dua juta orang, sementara TKA di Indonesia cuma puluhan ribu orang. Bagaimana suatu saat kalau kita yang diributkan karena banyak mengirim TKI?” ungkapnya.
Artinya, kata anggota Komisi VI DPR RI yang membidangi perdagangan, perindustrian, koperasi, UKM, investasi, dan BUMN itu, Perpres TKA tidak perlu diributkan.
“Jumlah TKA masih kecil sekali, bukan jumlah yang bisa meresahkan. Cuma ini dipolitisasi. Itu saja. ‘Kan momentumnya pas udah mau Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres),” katanya,
Tahun politik, kata dia, polemik terkait dengan Perpres TKA bisa menjadi bentuk politisasi sebab jumlah TKA yang masuk ke Indonesia tidak banyak dan bukan tenaga kerja kasar.
“Sebenarnya mau puluhan ribu, ratusan ribu, maupun jutaan TKA yang masuk, terpenting kalau mereka masuk secara legal enggak perlu diributkan. Kalau masuknya ilegal, baru diributkan,” katanya.
Wakil Bendahara Umum DPP PDI Perjuangan itu mengatakan, keberadaan Perpres TKA itu sebenarnya bertujuan pertama untuk meningkatkan investasi di Indonesia.
“Apakah investasi penting? Pasti penting. Pak Joko Widodo selalu bilang Indonesia bisa bertambah ekonominya dengan dua cara, yakni meningkatkan ekspor dan investasi,” katanya.
Selain itu, Juliari menjamin tidak akan terjadi serbuan TKA ke Indonesia, khususnya untuk tenaga kasar, sebab semuanya bergantung pada kesepakatan kedua belah pihak.
“Harus dilihat dahulu apakah ada dalam perjanjiannya, misalnya, membolehkan investor membawa TKA sebagai pekerja. Kalau membolehkan, ya, harus bagaimana lagi?” tegasnya.
Berbeda soal, kata dia, jika dalam perjanjian antara investor dan Indonesia tidak diperkenankan membawa TKA dari negaranya, kemudian mereka melanggar dengan tetap mengirim.