25 C
Jakarta

Teologi Idulfitri dalam Perspektif Kebahasaan

Baca Juga:

Bonni Febrian
Bonni Febrianhttp://menara62.com
Belajar istiqomah dan lebih bermanfaat

Oleh:
M. Rifqi Rosyidi, Lc. M.Ag.

Idulfitri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal setelah selesai menjalankan ibadah puasa selama sebulan. Terma syarī`ah yang sudah menjadi ungkapan bahasa Indonesia ini diserap dari bahasa Arab yang secara gramatikal dapat diketahui bahwa struktur kalimatnya terdiri dari dua kata; Īd dan al-Fithr dan dirangkai dalam satu kalimat menjadi Īd al-Fithr (dibaca Īdu-l-Fithri bukan `Aidul Fitri) yang dalam kajian tata bahasa arab struktur kalimat seperti ini disebut dengan istilah mudhāf-mudhāf ilayh, di mana arti dari setiap kata akan saling disandarkan untuk menyatakan makna baru yang lebih spesifik dan dalam perspektif teologi keberagamaan secara khusus akan mengembangkan energi dalam mengamalkan nilai-nilai agama yang lebih transformatif.

Secara leksikal Kata Īd (al-Īd) itu sendiri memiliki beberapa pembacaan dan pemaknaan yang sangat beragam sesuai dengan penelusuran kata dasar dan derivasi penggunaannya dalam tradisi bahasa arab; Disebutkan bahwa Īd (al-Īd) merupakan bentuk kata tunggal (lafdz mufrad; singulare) yang memiliki bentuk plural (jama`) a`yād (al-a`yād) dan di dalam Istilah agama digunakan untuk menyatakan hari di mana umat Islam berkumpul untuk meramaikannya. Īd (al-Īd) juga dapat dikatakan sebagai bentuk pengembangan kata dari al-`awd bentuk mashdar dari `āda – ya`ūdu yang artinya kembali, yang memberi kesan bahwa umat islam akan kembali menggembirakan hari itu setiap tahun dan berkelanjutan.

Īd (al-Īd) juga dapat dikatakan sebagai bentuk derivasi dari kata al-ādah yang secara bahasa diartikan dengan kebiasaan atau tradisi karena berkumpulnya umat Islam pada hari itu sudah merupakan tradisi dan kebiasaan tahunan. Menurut Ibn al-A`rābī (W; 231H/846M) seorang ulama yang pakar di bidang bahasa mengatakan bahwa hari berkumpulnya manusia dinamakan dengan Īd (al-Īd) karena (kembali) datangnya hari itu selalu diapresiasi oleh manusia karena memberikan kebahagiaan dan kegembiraan yang terbarukan.

Al-Rāzī juga menyatakan demikian di dalam tafsirnya ketika menjelaskan ayat 114 dari Q.S. al-Maidah [5]. Sedangkan menurut Ibn `Abidīn (W: 1836M) seorang ulama fiqih madzhab hanafiyah mengatakan disebut dengan Īd (al-Īd) karena pada hari-hari tersebut Allah mengembalikan kebiasaan hamba-Nya dalam melakukan kebaikan-kebaikan yang melampaui (ihsān), di mana kegembiraan pada hari itu direpresentasikan dalam bentuk kebaikan-kebaikan filantropis yang berbasis kepada kualitas keshalehan sosial, seperti berbagi kebahagiaan dalam bentuk memberi makan setelah berpuasa selama satu bulan; begitu pula berbagi keceriaan dalam menikmati daging kurban; dan dalam bentuk yang lain kegembiraan juga diwujudkan dalam bentuk ibadah thawāf ziyārah setelah menunaikan ibadah haji.

Sedangkan kata al-fithr yang menjadi sandaran bagi Īd merupakan bentuk mashdar dari kata kerja fathara; memiliki arti makan dan minum yang apabila dikaitkan dengan puasa berarti membatalkan puasa dengan mengkonsumsi makanan atau minuman. Dari kata dasar ini juga dikembangkan ke dalam bentuk mashdar lainnya menjadi ifthār yang biasa diartikan dengan sarapan pagi yang di dalam bahasa inggris disebut dengan break fast yang secara tekstual artinya merusak puasa, oleh karena itu ifthār juga diartikan dengan makanan yang disiapkan untuk dikonsumsi setelah terbenamnya matahari.

Selain dari pada itu fathara juga mempunyai arti menciptakan, yang daripadanya dikembangkan mrnjadi bentuk mashdar yang lain, yaitu al-fithrah yang secara leksikal dapat diartikan dengan konsep dasar penciptaan atau karakter yang dalam perspektif teologis harus diyakini bahwa Allah menciptakan manusia dalam bingkai ajaran Tauhid yang beriman kepada Allah yang Maha Esa. Dan dengan redaksi yang berbeda Al-Rāghib (W:425H) mengatakan bahwa al-fithrah merupakan semua bentuk potensi dan energi positif yang dikondisikan untuk menerima kebenaran ajaran tauhid dan kesaksian terhadap ketuhanan Allah.

Maka yang dimaksud dengan fitrah sebagai orientasi dasar penciptaan manusia yang dituangkan dalam sebuah ayat (Q.S. al-Rum [30]: 30) dengan ungkapan: “fitratallāhi allatī fathara annāsa alayhā” (tetaplah di atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu) adalah ajaran tauhid yang diwujudkan dalam bentuk kesaksian manusia terhadap ketuhanan Allah (Q.S. al-A`raf [7]: 172), sebagaimana yang secara tegas disebutkan juga di Q.S. al-Zukhruf [43] ayat 9 dalam sebuah narasi dialogis: “dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Niscaya mereka akan menjawab: semuanya diciptakan oleh (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui”.

Maka doktrin yang benar yang harus dimunculkan berkenaan dengan hadits tentang fithrah manusia adalah kenyataan teologis bahwa semua manusia dilahirkan dalam kondisi mukmin dan muslim dengan orientasi tauhid yang tegas. Kenyataan orientasi tauhid sejak lahir inilah yang sekarang dikaburkan dengan teori pendidikan barat atheis yang menyatakan bahwa anak dilahirkan dalam keadaan seperti kertas putih yang tidak ada coretannya. Dengan demikian teori yang dikenal dengan Tabula Rasa ini menafikan adanya coretan tauhid yang secara tidak langsung teori barat ini menampilkan paham atheisme di mana manusia tidak bertuhan dan tidak mengenal tuhannya.

Meskipun dalam pemaknaan yang lain al-fithrah juga sering diartikan dengan bersih dan suci tetapi pengertian bersih dan suci tersebut tetap mengacu kepada kondisi awal tauhid yang bersih dari kesyirikan dan kondisi jiwa yang bersih dari noda dosa-dosa kemaksiatan.

Kajian berbasis kebahasaan terhadap sebuah terminologi syariah sangatlah penting dan harus dilakukan secara komprehensif untuk mendapatkan pemahaman yang utuh dalam rangka mengungkap muatan-muatan teo-spiritual (rūhiyyah) dan sosio-kultural (ijtimā`iyyah) yang dikandung oleh terma-terma syarī`ah tersebut. Memaknai istilah idulfitri ini tidak mungkin terlepas dari tujuan dan target ibadah-ibadah yang dianjurkan untuk dilaksanakan selama bulan Ramadhan, sehingga yang harus kita pahami adalah bahwa idulfitri bukan hanya sekedar menyemarakkan hari raya dengan kegembiraan tetapi yang paling penting adalah menampilkan perilaku-perilaku yang mencerminkan nilai-nilai teo-spiritual dan sosio-kultural yang dikandung oleh struktul kalimat tersebut.

Kembali atau tampilnya kembali kebiasaan-kebiasan baik merupakan kata dan kalimat kunci yang bisa kita jadikan pijakan untuk mengembangkan rūh yang terdapat pada kata al-fithr sebagai sandarannya. Dengan demikian makna dan pesan yang terkandung dalam Īd al-Fithri dinarasikan dari aspek pendekatan berdasarkan keragaman maknanya dan pengembangan derivasinya. Ketika memaknai Īd al-Fithri dengan pendekatan sosio-kultural maka semangat yang harus digelorakan pada hari itu adalah menghadirkan kebahagiaan bagi semua umat Islam yang indikatornya menurut hadits dapat dilihat dari ketercukupannnya kebutuhan fuqara dan masakin pada hari itu sehingga mereka juga dapat merasakan keceriaan hari itu dan menikmati kebahagiaan bersama.

Dengan memenuhi kebutuhan hari itu mereka tidak lagi memikirkan kebutuhannya dengan bekerja dan meminta-minta: “Penuhilah kebutuhan mereka (fuqarā dan masākīn) agar mereka tidak berkeliling dengan bekerja atau meminta-minta untuk memenuhi kebutuhan mereka”. (HR. Al-Hākim, Al-Baihaqī dan Al-Dāruquthnī dan lainnya dengan derajat sanadnya lemah). Oleh karena itu selaras dengan semangat pemberdayaan ini zakat fitrah wajib didistribusikan kepada yang berhak menerima sebelum pelaksanaan shalat idulfitri sehingga mereka bisa tenang dalam menggapai keberkahan dari keikutsertaannya melaksanakan rangkaian shalat dan khutbah.

Zakat Fitrah ini meskipun secara syar`i hanya memperhatikan ketercukupan kebutuhan mereka satu hari saja, tetapi semangat yang dibangun menunjukkan keberpihakan Islam terhadap kaum mustadh`afīn dimulai dengan salah satu bentuk gerakan filantropi yang mengembangkan semangat pemberdayaan dan pembebasan manusia dari segala bentuk kemiskinan dan ketergantungan ekonomi. Dengan demikian teologi idulfitri yang dibangun dari aspek pemaknaan ini menunjukkan bahwa keshalehan individu yang dikembangkan melalui pelaksanaan ibadah yang intens di bulan Ramadhan harus mampu mewarnai kehidupannya pasca Ramadhan dengan menampilkan keshalehan sosialnya dalam wujud saling memaafkan, tumbuhnya rasa empati dan kepekaan sosial untuk saling berbagi dalam konteks al-takāful al-ijtimā`ī.

Ketika idulfitri dikembalikan pengembangan akar katanya dari al-fithrah, maka pemaknaannya menggunakan pendekatan teo-spiritual di mana semua manusia pada prinsipnya dilahirkan dalam keadaan beriman kepada Allah dengan konsep tauhid sesuai dengan narasi-narasi Qur`ani dan juga hadis nabi tetang fitrah manusia yang secara bahasa sudah dikaji di atas.

Dengan demikian spirit pertama yang dapat dibangun dari terma Īd al-Fithri dengan pendekatan ini adalah tajdīd al-īmān; gerakan memperbaharui keimanan secara berkala dengan amal sholeh dam ibadah-ibadah yang terstruktur, sesuai dengan pesan profetik yang dinarasikan dalam sebuah ungkapan hadits: “jaddidū īmānakum” (perbaharuilah imanmu).

Konkritnya setelah menyelesaikan rangkaian kewajiban di bulan Ramadhan dan memasuki 1 Syawal harusnya keimanan setiap orang semakin baik, bertambah dan terbarukan. Inilah salah satu rahasia mengapa Allah hanya memanggil dan berbicara kepada orang-orang yang beriman saja ketika ingin memberlakukan kewajiban puasa dan ibadah-ibadah yang lain pada umumnya, karena sejatinya ibadah dijadikan Allah sebagai instrumen penjamin mutu keimanan seseorang, dan kenyataan ini tidak lepas dari konsisi hati orang iman yang lebih mudah melakukan dinamika perbaikan dan pembaruan karena memang hati orang-orang yang konsisten di dalam ibadah selalu tersadarkan dan hidup.

Spirit kedua yang juga dapat dikembangkan dari perspektif ini adalah setiap orang yang telah mendedikasikan waktu dan tenaga untuk beribadah di bulan Ramadhan harus menjadi pribadi baru dengan kebiasan-kebiasan baik yang terbarukan baik yang terkait dengan ibadah yang masuk dalam ruang lingkup habl min Allāh maupun habl min al-nās. Kondisi iman yang terbarukan dan menjadi pribadi baru setelah menjalankan ibadah Ramadhan yang digambarkan nabi seperti bayi yang baru terlahir dari rahim ibunya menuntut kita untuk merawat iman dan keshalehan pribadi dengan mempertahankan kebiasaan-kebiasaan positif serta melakukan mujāhadah dalam mengendalikan semua potensi di dalam jiwa untuk tetap berada pada titian yang benar.

Dengan demikian paradigma idulfitri bukan merasa seakan sudah terbebas dari belenggu aturan dan rutinitas Ramadhan, tetapi bagaimana nilai-nilai Ramadhan masih tetap terasa membingkai kehidupan sehingga kita mampu tampil menjadi pemenang dalam mengendalikan pontensi-potensi negatif yang menyimpang dari ajaran agama. Min al-`āidīn wa al-fā’izīn. Semoga hidup kita kembali kepada nilai-nilai keimanan yang benar, dan menjadi pemenang dalam mengendalikan dalam potensi negatif yang bisa menjatuhkan kita pada jurang dosa dan kesalahan yang sama. Amin.

*) penulis adalah Pensehat  Ahli Sahabat Misykat Indonesia

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!