Oleh : T. Wisnu Wardhana
(Penjagong yang lagi belajar tumbuh dan berkembang)
Jagongan berkemajuan adalah wadah alternatif untuk njagong santai, tanpa tekanan, prasangka, mengalir, tidak saling menyalahkan dan diselingi dengan pembacaan puisi, tampilan karya seni lainnya. Njagong part 1 diawali dengan meredifinisi makna kemajuan yang tidak terjebak dalam paham modernitas. Modernis akan berbahaya kalau hanya dikaitkan dari progesifitas belaka, bahwa saat ini lebih baik dari yang lalu, Para pemikir dan pelaku modernisme terjebak, bagi mereka adalah waktu yang “sekarang”—artinya terbatas – bukan waktu yang keberlanjutan dan membawa perubahan, hanya pada lokus dan waktu “sekarang” lebih modern daripada waktu “lalu”.
Menarik bagi Muhammadiyah makna Islam Berkemajuan bukan hal yang baru, melainkan kelanjutan apa yang telah dirintis dan digagas oleh Kyai Dahlan sejak kelahiran Muhammadiyah lebih dari seabad lalu, menurut Syujak – murid Kyai Dahlan – ada 4 pondasi dalam memaknai Islam berkemajuan yaitu Tauhid dan aqidah yang kuat, pendalaman terhadap Al Qur’an dan As Sunah, melembagakan amal sholeh yang fungsional dan berorientasi pada kemajuan, toleran dan suka bekerjasama. Haedar Nashir memandangnya sebagai sebagai trasendensi, liberasi, humanisasi dan emansipasi Muhammadiyah.
Menjalankan Islam berkemajuan perlu dengan strategi kebudayaan – dalam arti luas -, ada ratusan definisi tentang kebudayaan, intinya kebudayaan bagi para penjagong bukan kata benda melainkan kata kerja selaras dengan Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan Islam dinamis.
Disisi lain terdapat pandangan bahwa antara agama dan budaya merupakan oposisi biner, sering dikonstruksi secara dangkal, dan parsial karena tidak akan memadai dalam membaca dan menjelaskan bahwa agama sebagai sumber utama nilai dengan realitas kebudayaan yang kompleks ( apalagi posisi kita minoritas dalam kontruksi penguasaan sosial kebudayaan di Bali ), keduanya bukan hal yang kontraproduktif melainkan saling memberikan penguatan, jika dipahami secara mutlak dan tunggal maka akan melahirkan bias pemahaman yang kemudian dapat membangun cara pandang dan laku yang tidak tepat menghadapi masalah kebudayaan akhir-akhir ini.
Agama sebagai pusat nilai yang melandasi aktivitas kerja kebudayaan, budaya adalah cara manusia mengolah cipta rasa dan karsanya. Kita perlu mengingat tahun 2001 lahir pemikiran ideal Muhammadiyah yakni Dakwah Kultural hasil tanwir Muhammadiyah di Denpasar, beberapa saat kelahirannya terjadi tragedi bom Bali satu, muncul phobia terhadap Islam. Kitapun melupakan strategi Dakwah Kultural, pun mungkin hingga saat ini.
Jagongan berkemajuan sebuah alternatif yang mewarnai ruang publik khususnya Muhammadiyah Bali lebih diskursif, ada nilai dengan pendekatan salah satunya strategi kebudayaan sebagai proses kerja yang tidak pernah berhenti, melembagakan amal shalih, inilah tampilan wajah Islam berkemajuan, menegasi Islam sebagai agama yang memberikan rahmat bagi sekalian alam ala para penjagong.
Menarik menjelang akhir obrolan membahas isu – isu ekologis, Bali ke depan tidak baik – baik saja, tahun 2030 diprediksi akan krisis air, ini menjadi titik temu ‘ Kalimatunsawa’ ,masalah ekologi mempertemukan semuanya diantara perbedaan dan sangat kecil akan adanya benturan. Semua orang tanpa kecuali membutuhkan air, semua agama dalam peribatannya membutuhkan air ( wudhu – Islam , tirta – hindu , baptis – kristen / katolik , air suci waisak – budha ) . Bali diselamatkan bersama, upaya menjaga agar Bali agar tidak krisis air bentuk keluhuran bagi kemanusian universal.
Bali Krisis Air, Persoalan Bersama
Bali dalam kurun terakhir seakan berada dalam darurat krisis air, sebuah obrolan salah satu warga Denpasar, I Ketut Nata, tinggal di Kalimutu memanfaatkan air kebutuhan domestik rumah tangganya untuk diolah kembali dengan cara pengendapan, cukup 2 bak atau tepatnya sesuai debit pengeluaran air setiap harinya ( satu bak untuk pengendapan, satu lagi untuk penyaringan ), air hasil penyaringan tidak terbuang sia – sia dan dapat dimanfaatkan kembali menyiram tanaman, lahan juga kebutuhan usahanya pencucian mobil dan motor. Bli Nata sapaan akrab saya menggambarkan, Bali kedepan bisa krisis air kalau semua air rumah tangga dibuang langsung ke got / selokan bercampur dengan kotoran.
Selanjutannya Bli Nata, bertanya : “Mas kenapa air wudhu di sekolah Muhammadiyah tidak olah kembali / dimanfaatkan sehingga tidak dibuang begitu saja ? Minimal untuk penyiraman tanaman sekolah. Benar juga, air tidak dibuang ke selokan yang kotor dan ke sungai. Air yang ada berada di lingkungan sekolah dapat dimanfaatkan. Jika ini menjadi arus utama banyak warga yang mendaur ulang airnya, maka krisis air setidaknya akan teratasi.
Ini persoalan bersama, yang masing – masing diri menempatkan posisi dan peranannya, pergunakan air sebaik mungkin. Air dalam pikiran kita menjadi subjek, bukan sebagai objek. Jika diposisikan sebagai subjek muncul prinsip kehati – hatinya memanfaatkannya.
Isu ekologis salah satunya air sebagai titik temu “kalimatunsawa “, Islam mengajarkan kita tidak boleh merusak kehidupan manusia dan lingkungannya yang Tuhan sendiri melarang tegas karena masuk dalam tindakan “fasad fil-ardl” atau merusak di muka . Saat ini banyak pembangunan atas nama perbaikan kesejahteraan ekonomi dihambakan dengan menisankan ekologi. Lingkungan rusak dan perusakan lingkungan suatu kezaliman.
Muhammadiyah dan upaya penyelamatan ekologis
Hasil penelitian Ir Suprio Guntoro ( peneliti Badan Litbang Pertanian, Ketua Majelis Lingkungan Hidup Muhammadiyah Bali 2005 – 2010), setiap orang berwudhu menghabiskan 2,79 lt air atau 14 liter air per orang per hari. Jika ada 100 orang beraktivitas di masjid berarti aka nada 1.400 ly air limbah. Sayang kalau dibuang percuma. Dapat dibayangkan dalam satu bulan dengan jumlah umat Islam jika air wudhu tidak dimanfaatkan kembali akan menimbulkan persoalan ekologis.
Muhammadiyah konsen dengan persoalan air, melalui jihad konstitusi sebagai gerakan untuk mengembalikan undang – undang agar tidak menyimpang dari konstitusi. Semenjak 2012, Muhammadiyah telah mengajukan uji materi sedikitnya tujuh undang-undang. Empat di antaranya sudah dikabulkan oleh majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) salah satunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Ciri yang membedakan Muhammadiyah dengan gerakan Islam lainnya adalah melembagakan amal saleh, persoalan limbah air dalam lingkungan sekolah, salah satu penjagong Anak Agung Andi Hariyanto , arsitek mushola Ahmad Dahlan ( komplek perguruan SMP Muhammadiyah 1, SMA dan SMK Muhammadiyah Sebelanga ) akan merancang pengolahan limbah air akan dibuat ramah lingkungan dengan beberapa tahapan penyaringan, secara prinsip air tidak terbuang keluar. Prototipe ini jika dikembangkan di seluruh masjid/ mushola, sekolah maka Muhammadiyah menampilkan praksis gerakan yang bernilai dan implementatif untuk bisa memberikan kebermanfaatan dan kemaslahatan bersama.
Titik Temu Ekologis, Bali Krisis Air. Perspektif Jagongan Berkemajuan.
- Advertisement -