Eksplorasi mencari kebenaran dalam lintas sejarah manusia tidak pernah berhenti. Manusia senantiasa disibukkan oleh berbagai pertanyaan mendasar mengenai banyak hal, di antaranya tentang dirinya, lingkungannya, kehidupannya dan siapa yang menciptakannya.
Keterbatasan indra menyebabkan manusia tidak mampu mendeteksi hal-hal yang transendental. Hal itu pula yang membuat manusia tidak bisa menggapai apa yang ada di luar pengetahuan dan logikanya.
Sejak puluhan tahun silam, filsafat reduktif menjangkiti sejumlah filosof dan ilmuwan dunia. Mereka menerima moral, logika dan akal budi, namun menolak transendental agama. Salah satu model filsafat reduktif disampaikan Alan Turing yang pernah diterbitkannya dalam Jurnal Mind pada 1950.
Bapak komputer dunia tersebut menyatakan bahwa hakikat mesin yang berpikir adalah kemampuan untuk memberikan jawaban yang benar berdasarkan pengumpulan informasi yang diajukan melalui pertanyaan.
Turing saat itu tengah membicarakan komputer cerdas yang bisa berpikir dan memberikan feedback kepada manusia. Tesis Turing tentang komputer yang dapat berbicara dan berpikir komputasi memang belum terwujud di zamannya. Namun, dia memiliki konsep yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya artificial intelligence (AI).
Penelitian tentang kecerdasan buatan sesungguhnya berangkat dari pertanyaan Turing, “Mengapa harus menganggap bahwa komputer yang berperilaku mirip orang yang sedang berpikir itu dapat berpikir?”
Pertanyaan itu mewariskan terbukanya kemungkinan ilmu kecerdasan buatan yang kini mengalami revolusi luar biasa. Sebuah perubahan massif global yang membuat manusia senantiasa silau dengan hasil pikirannya. Apa yang dipikirkan berangkat dari keinginan untuk mencari pengetahuan dan kebenaran. Dari sana kemudian lahir sebuah proses dan usaha manusia untuk tahu.
Proses dan usaha itu kemudian melahirkan kecerdasan mesin yang ditunjukkan dalam mesin permainan catur, Deep Blue, pada 1997 yang mampu mengalahkan Sang Juara Dunia, Garry Kasparov. Deep Blue menggunakan komputer IBM dibuat tahun 1990-an oleh Hsu, Campbell dkk. Deep Blue mampu mengevaluasi 200 juta posisi bidak catur per detik.
Kemenangan Deep Blue hakikatnya melalui proses soft computing yang menjadi inovasi baru dalam membangun sistem cerdas. Sistem yang memiliki keahlian seperti manusia pada domain tertentu, mampu beradaptasi dan belajar agar dapat bekerja lebih baik jika terjadi perubahan lingkungan.
Soft computing mengeksploitasi adanya toleransi terhadap ketidakpastian, ketidaktepatan, dan kebenaran parsial untuk dapat diselesaikan dan dikendalikan dengan mudah agar sesuai dengan realita.
Metodologi dalam soft computing yakni sistem fuzzy untuk mengakomodasi ketidaktepatan, jaringan syaraf yang di dalamnya menggunakan pembelajaran, probabilistic reasoning untuk mengakomodasi ketidakpastian dan evolutionary computing yang bermakna optimasi algoritma genetika.
Kegagalan manusia mencapai hakikat transendental membuat manusia menabrak dinding besar dan tidak tahu apa yang ada di balik dindin tersebut. Manusia terjebak pada aspek lahir saja.
Di tengah kemajuan teknologi, manusia menjadikan AI sebagai hal yang memonopoli kehidupan mereka. Dan, mesin kian menguasai hajat hidup orang banyak. Ketergantungan manusia akan mesin begitu luar biasa. Kondisi itu melahirkan pengagungan terhadap mesin yang sangat radikal dan membuat manusia “menuhankan” artificial intelligence.
Seorang milyuner berkebangsaan Amerika Serikat yang hidup dikelilingi mesin-mesin cerdas raksasa di Sillicon Valley mengakui akan kebutuhan agama dalam dirinya. Dia adalah Anthony Levandowski yang mendeklarasikan diri sebagai nabi dalam agama yang disebutnya “Way of The Future”. Agama Levandowski mengajarkan tentang adanya hubungan yang sangat membutuhkan antara manusia dan mesin sebagai “tuhan”.
Secara tidak kita sadari, ajaran Levandowski merasuki kehidupan keberagamaan kita. Tatkala mesin dituhankan dan Tuhan yang sebenarnya dianggap tiada. Gawai terikat erat di tangan kita, sementara kitab suci teronggok berdebu di dalam almari.
Kondisi yang sekarang ini membuat manusia saling membunuh hanya gara-gara status facebook. Manusia saling mencerca karena cuitan yang berbeda. Algoritma mencengkeram kehidupan manusia dan dijadikan senjata untuk menyerang.
Mencapai kebenaran dan nilai-nilai transendental memang tidak mudah. Apa sebab? Tentunya seperti yang sudah dijelaskan di awal tulisan ini, manusia memiliki keterbatasan indra. Oleh sebab itu, dibutuhkan guide yang memiliki orisinalitas tinggi dan seorang messenger yang akurat dan dapat dipercaya.
Di tengah rimba data tidak terstruktur, menyebabkan manusia sangat mungkin tersesat dan terjebak dalam bad sector. Agar tidak tersesat, manusia harus dilatih mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan seperangkat ilmu pengetahuan, sesuai nilai-nilai kemanusiaan yang telah dianugerahkan Sang Maha (The Ultimate) melalui fitrah-Nya.
Mesin harus diposisikan sebagai komponen dalam kehidupan manusia untuk menemukan Sang Maha. Guide berisi informasi yang di dalamnya sebagai penunjuk jalan agar manusia memahami apa itu kebenaran dan untuk apa mereka hidup di dunia.
Untuk mengenal Sang Maha, manusia bisa pula melihat fenomena alam semesta dan melakukan analisa secara seksama. Nah, di sini lah seharusnya mesin dan kecerdasan buatan memainkan peran. Pendekatan ini dilakukan dengan cara bertafakkur terhadap fenomena alam sebagai tanda-tanda eksistensiNya.
Agama memotivasi manusia mencari ilmu pengetahuan bukan hanya untuk membantu manusia memperoleh penghidupan yang layak. Akan tetapi, lebih dari itu, dengan ilmu, manusia akan mampu mengenalNya, memperhalus akhlaknya, dan senantiasa berupaya mencari keridhaanNya.
Eksistensi agama dalam diri manusia sesungguhnya untuk melepaskan jiwanya dari keterkungkungan, baik keterkungkungan dalam perbudakan, akal yang terkunci dan tumpul, maupun taklid yang membunuh pikiran, sehingga manusia bisa melakukan koneksi langsung dengan Sang Maha.
Sebagai penutup, penulis mengutip ayat suci Al Quran yang berbunyi, “Dan telah Kami turunkan Al-Dzikr (Al-Quran) untuk kamu jelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir”. (Al-Nahl: 44). (*)
Mohamad Fadhilah Zein
Menara62 Institute