28.2 C
Jakarta

Tujuh Pesan Garin untuk Presiden Prabowo

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM — Seniman, sineas, sutradara, budayawan Garin Nugroho menyampaikan tujuh pesan penting untuk Presiden Prabowo terkait strategi mengembangkan kebudayaandi Indonesia.

Pesan itu disampaikan dalam Pidato Kebudayaan yang dia bacakan di Graha Bhakti Budaya (GBB), Taman Ismail Marzuki, (TIM), Ahad malam (10/11/2024).

“Pemerintahan Presiden Prabowo seharusnya mampu mewujudkan seni dan budaya sebagai hak asasi yang sejajar dengan hak politik dan hak ekonomi. Hak atas budaya dan seni merupakan hak dasar masyarakat sipil yang wajib didukung, dikembangkan, dilindungi dan diberi ruang untuk tumbuh subur dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa,” ujar Garin.

Kepemimpinan Presiden Prabowo, kata Garin dalam pesannya yang lain, wajib mewujudkan beragam strategi ekonomi dengan kebijaka npolitik yang didukung perlindungan hukum untuk memfasilitasi, melindungi, merawat, dan menumbuhkan proses pemajuan kualitas kreasi dan apresiasi seni dan budaya dalam ekosistem yang sehat dan produktif, baik institusi, daya hidup para profesional, komunitas, maupun pendidikan.

Garin mengatakan, sejarah mencatat bahwa pada setiap era revolusi teknologi 1.0 hingga 4.0, Indonesia selalu gagal menangkap momentum untuk melakukan lompatan peradaban baru.

“Pemerintahan Joko Widodo di era serba digital gagal menjadikan revolusi teknologi sebagai pendorong peningkatan kualitas warga dan penyelenggaraan negara,” ujarnya.

Kenapa? Karena negara tidak dikelola sebagai pemerintahan,tetapi selayaknya organisasi hiburan berbasis digital yang disertai ambisi kekuasaan politik dan ekonomi yang banal.

“Bahkan, ruang publik media baru menjadi ajang pameran yang membosankan proses politik dan hukum serta kehadiran politisi yang tidak beretika. Akibatnya, bangsa kehilangan arah dalam mencari kebaikan dan kebenaran, sehingga esensi daya hidup warga negara sebagai individu yang memiliki hak-haknya untuk mewujudkan masyarakat sipil yang berkualitas menjadi luntur,” katanya.

Untuk itu, kata Garin, sebagai bentuk balas budi kepada rakyat, Pemerintahan Presiden Prabowo perlu membentuk strategi budaya untuk mengelola revolusi industri 4.0 dan 5.0 guna mengembalikan hak-hak warga negara sebagai landasan kebangkitan bangsa.

Belajar dari Korea
Garin juga mengajak untuk belajar dari tumbuh-kembangnya industri kreatif seperti drama Korea (drakor).

“Gelombang ini tidak dibangun dengan langsung membidik pasar massa, melainkan dibuat dengan membangun sumber daya manusia unggul, dengan profesionalisme yang matang dan mumpuni, dan strategi untuk menumbuhkan selerapasar,” katanya.

Pada bagian lain Garin mengingatkan pelajaran dari sejarah ketika diramalkan bahwa para pemimpin Nusantara yang tidak mumpuni dalam menghadapi perubahan zaman apa pun hanyalah akan menjadi mandor dari korporasi besar yang mengincar sumber daya alam Indonesia dan sumber daya tenaga kerja warga Indonesia.

“Untuk menjaga pamor agar tidak terlihat sebagai mandor, para pemimpin tersebut seringkali mengulang pencitraan gaya raja Jawa, meski kejam dan mengeksploitasi rakyat untuk kepentingan diri, keluarga, dan oligarki, tetapi tetap terlihat populer. Padahal, sesungguhnya kapasitas mereka hanya mampu menjadi mandorbagi korporasi,” kata Garin.

Fenomena pemimpin sebagai “mandor korporasi” dalam sejarah Nusantara terus terulang dan menjadi sebutan seloroh, seperti ungkapan “bangsa kuli dengan mental penjajah dan politikus mandor”.

Fenomena ini juga ditujukan pada 10 tahun pemerintahan Joko Widodo dan oligarkinya. Contoh kecilnya adalah proses mewujudkan berbagai undang-undang yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti

Undang-Undang Tenaga Kerja. Meski menyangkut kepentingan bangsa yang sangat luas, undang-undang tersebutdikerjakandengan cepattanpa sosialisasi memadai yang merupakan syarat demokrasi. Selain itu, kunjungan-kunjungan ke daerah-daerah, bukan semata-mata daerah miskin, lebih sering terlihat sebagai kunjungan “mandor”daerah yang berhubunga ndengan investasi besar.

Pidato Kebudayan pertama kali digelar pada tahun 1969, lalu menjadi tradisi tahunan pada setiap tanggal 10 November, bertepatan dengan ulang tahun Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki.

Dewan Kesenian Jakarta secara konsisten menyajikan persoalan-persoalan penting dan aktual, mengupas dan mengkritisi dengan pemikiran-pemikiran jernih melalui perspektif budaya.

Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta adalah upaya memperdengarkan suara jernih yang membawa gagasan bernas dari tokoh-tokoh terpilih. (*)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!